Bicara Prestasi


Apakah yang terpikir dalam benakmu ketika seseorang menyebutkan kata prestasi? Piala? Piagam? Sertifikat? Beasiswa? Semoga pikiranmu tidak sebasi itu. Prestasi, mungkinkah berasal dari kata “prestis” atau prestige? Mungkin saja. Prestasi, di negeri ini, identik dengan gengsi, martabat, kehormatan dan sebagainya. Prestasi menjadi semacam mekanisme yang diciptakan oleh spesies kita, untuk menjadi tolok ukur terhadap kemampuan seseorang. Bagi yang bersedia mengikuti mekanisme tersebut maka berprestasilah ia. Yang tidak, kita lihat saja.
Sesederhana apapun suatu ajang, bila mendapat posisi pertama maka bisa dianggap sebagai prestasi. Prestasi dapat membahagiakan individu yang meraihnya, apapun bentuknya. Apalagi jika prestasi tersebut dicapai setelah kerja keras yang panjang dan penuh cobaan. Begitu mengetahui bahwa kerja keras kita membuahkan sesuatu, maka kita akan senang. Pun jika kita mendapat prestasi meski tanpa kerja keras. Di dalam diri kita pasti ada perasaan bahagia dan merasa beruntung. Prestasi juga tak hanya mampu membahagiakan peraihnya, namun juga orang-orang disekitar si pemilik prestasi.
Begitu membahagiakannya prestasi, sehingga orang beramai memperebutkannya dalam ajang dan bidang apapun. Mereka berusaha sebaik mungkin mengikuti mekanisme pencapaian prestasi dengan melalui mekanisme-mekanisme anakannya. Proses demi proses, kerja keras, buah pikiran, jalan panjang yang kadang menjengkelkan, serta tak lupa doa. Dan akhirnya didapatlah prestasi. Membanggakan.
Bila mengikuti mekanisme yang telah diciptakan manusia dan berlaku hingga kini, prestasi tak bisa dicapai begitu saja, hanya bermodal doa dan batu akik. Tidak, tidak bisa. Dan itu terasa tidak adil. Bila ada, itu semu dan tak nikmat. Stigma masyarakat bumi mendoktrin anak-anaknya bahwa kita tak bisa memperoleh prestasi tanpa kedisiplinan dan kerja keras. Memang doktrin tersebut ada benarnya. Namun seperti hal-hal lain yang tercipta dengan dua sisi, manusia pun memiliki sisi buruknya, yang salah satunya adalah kemalasan. Kemalasan, ditambah ketidaksabaran, dibumbui keinginan untuk mendapat prestasi, jadilah jalan pintas yang dicari.
Karena stigma seperti itu pula, maka tercipta suatu mekanisme lain perihal prestasi, yakni penghargaan. Manusia menganggap bahwa kerja keras dan kedisiplinan perlu dihargai, tak boleh dilewatkan begitu saja, karena tekun dan disiplin dimasukkan dalam golongan sifat kanan alias baik. Ketekunan, kerja keras dan kedisiplinan dianggap mampu membuahkan sesuatu. Dan jadilah penghargaan itu diberikan kepada mereka yang mampu membuahkan sesuatu. Menghargai itu baik. Menghargai hasil kerja keras seseorang itu sangat baik. Penghargaan itu baik. Namun tak selamanya. Karena ia semakin hari semakin membuat orang berambisi. Berambisi untuk memperoleh penghargaan, bukan karena apa ia pantas mendapat penghargaan.
Dan apa jadinya prestasi tanpa penghargaan? Apa jadinya kerja keras tanpa apresiasi? Tak adil. Dan sangat menyedihkan. Itulah yang kerap terjadi di tanah air ini. Orang-orang teratas menuntut prestasi, sedang tak memberi apresiasi. Tersadar bahwa menjadi orang berprestasi di negeri ini adalah nonsens belaka karena begitu busuknya sistem dan birokrasi. Kasihan sekali para anak negeri yang dimatikan kreatifitasnya oleh payung bangsa yang menaungi, hanya karena pencapaian mereka tak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh para kapitalis.
Tempat saya menimba ilmu kini merupakan salah satu dari sekian tempat di Indonesia dimana kreatifitas dan segala idealisme dapat dimatikan hanya dengan diinjak oleh sepatu besi, sama seperti puntung rokok yang diinjak saat tembakaunya telah habis. Menyedihkan sekali, bukan? Prestasi yang telah dicapai dengan mempertaruhkan jiwa raga, hanya diingat selama lima menit setelah itu sudah, selesai.
Mungkin itulah salah satu sebab mengapa kita masih saja terjebak pada kondisi stagnan dimana prestasi tak meningkat. Busuknya birokrasi, minimnya apresiasi, serta respon destruktif terhadap kegagalan, nampaknya masih menjadi PR kita bersama untuk diselesaikan.

3 comments:

 

My Tweeeeet