Satoe Atap, Pahlawan Pendidikan Anak Jalanan


Kita semua pasti setuju dengan anggapan bahwa pendidikan dapat memutus mata rantai kemiskinan dan meningkatkan derajat suatu bangsa. Bangsa yang bagus dan sangat maju, dapat dipastikan memiliki sistem pendidikan yang baik dan berhasil. Namun sayangnya, belum semua anak di Indonesia dapat mengecap manisnya bangku sekolah. Pendidikan belum merata. Kabar baiknya, optimisme untuk menggalakkan pendidikan di negeri ini belum luntur.

Harapan, itulah yang menjadi pondasi dari gerakan-gerakan pemuda Indonesia untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Tanpa pamrih, mereka bekerja untuk mengajar anak-anak. Sebut saja Gerakan Indonesia Mengajar. Gerakan Indonesia Mengajar adalah sebuah gebrakan baru yang dicetuskan oleh pegiat pendidikan, Anies Baswedan. Gerakan ini mengajak putra-putri terbaik bangsa, para sarjana muda dengan semangat dan jiwa idealisnya, untuk bersama-sama memenuhi janji kemerdekaan: mencerdaskan kehidupan bangsa. Hak-hak penduduk di daerah terpencil untuk mendapat pendidikan yang berkualitas dan murah selama ini masih belum diperhatikan oleh pemerintah. Karena itulah Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar ini didirikan.
Di Semarang juga terdapat suatu gerakan yang peduli terhadap pendidikan anak-anak. Adalah Komunitas Satoe Atap, yang menaungi anak-anak jalanan di Kota Semarang dan memberikan pendidikan kepada mereka secara cuma-cuma. Karena keprihatinan melihat banyaknya anak jalanan yang tak bersekolah, komunitas ini dibentuk pada 12 April 2007 oleh sepuluh mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip). Bagi mereka anak jalanan sangat unik. Tak seperti anak-anak lain yang besar dalam kasih sayang keluarga, mereka dibesarkan oleh lingkungan dan alam yang memaksa mereka untuk bisa survive tanpa orang tua.
“Banyak anak jalanan yang perlu sekolah, namun mereka tidak mengenal pendidikan. Lalu kami coba dekati mereka, mengenalkan mereka pada pendidikan dan ternyata respon mereka cukup positif. Itu berarti mereka membutuhkan kita,” ungkap Galih Ratnasiwi, salah satu pendiri komunitas ini.
Satoe Atap (Sayang itoe Asli Tanpa Pamrih) sendiri telah memiliki dua titik pengajaran di Kota Semarang. Setiap Selasa kegiatan belajar mengajar diadakan di daerah Seroja, sedangkan Rabu di daerah Banjir Kanal Timur. Pembelajaran yang diberikan antara lain balistung (baca tulis hitung), pelajaran biasa (untuk yang sudah bisa balistung) dan persiapan ujian masuk SMP negeri untuk mereka yang kelas 6.
Para pejuang pendidikan untuk anak jalanan ini tak hanya mengadakan kegiatan belajar mengajar. Mereka bahkan juga berupaya agar anak-anak jalanan yang bersekolah dibebani biaya pendidikan seminim mungkin. Caranya adalah dengan mendatangi sekolah-sekolah mereka untuk memantau dan menyalurkan beasiswa dari donatur ke sekolah. “Biasanya saat mendekati ujian, kita datang ke sekolah-sekolah, menyelesaikan tagihan-tagihan mereka agar bisa ikut ujian, jadi kita berikan beasiswa agar mereka bisa melanjutkan pendidikan,” tambah Galih.
Suka duka mengiringi upaya para pemuda ini untuk memberantas kebodohan di kalangan anak jalanan. Namun apapun kesulitan yang datang tak menyurutkan semangat mereka untuk tetap mengasuh anak-anak tersebut, memberikan pengajaran terhadap mereka.
Para pengajar Satoe Atap mengakui bahwa tak selalu mudah untuk mendidik anak-anak jalanan. “Namanya juga anak jalanan. Kadang mereka mau belajar, kadang engga. Anak-anak biasa kan juga begitu, apalagi mereka yang anak jalanan. Tapi kita sendiri engga pernah maksa. Dengan kesadaran mereka sendiri, mereka masih punya semangat tinggi untuk belajar.” Semangat yang tinggi dari para anak jalanan itu turut membakar semangat para pemuda ini untuk selalu mengajari mereka.
Musibah juga pernah menyambangi mereka. Pada 7 Juni 2011, titik pengajaran mereka di daerah Banjir Kanal Timur ikut terbakar dalam musibah kebakaran hebat yang menelan belasan rumah. Alhasil, buku-buku pun ikut musnah. Namun sekali lagi, berkat optimisme dan semangat untuk turut mencerdaskan kehidupan bangsa datang dari pemuda-pemuda kita. Bantuan mengalir dan basecamp dapat dibangun kembali. Sumbangan buku juga perlahan tapi pasti kembali ke tangan anak-anak jalanan tersebut.
Itulah salah satu potret kepedulian pemuda terhadap pendidikan bangsa ini. Dengan mengorbankan waktu dan tenaga mereka untuk mengajar, mereka telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Meski gerakan mereka belum menjadi sebesar Gerakan Indonesia Mengajar, namun tindakan mereka sudah sangat berarti, khususnya bagi anak jalanan yang tak seberuntung anak-anak lain.







2 comments:

  1. begitulah seharusnya, yg punya ilmu rela berbagi tuk sesama yg membutuhkan :)

    BalasHapus
  2. iya, mulia dan inspiratif sekali :)

    BalasHapus

 

My Tweeeeet