Dialog Hujan

“Kenapa sih kamu suka banget sama hujan?”

Ia tak langsung menjawab, malah menatapku.

“Eh?”

“Iya, kenapa kamu sangat menyukai hujan?” ulangku. Ia palingkan muka. Matanya menerawang titik-titik air yang jatuh bertubi-tubi di hadapan kami.

“Mmm… Karena… Ketika hujan turun itu, turun pula jutaan berkah dari langit. Turun pula ribuan peri pohon, peri kebun, yang akan membantu pak tani menyuburkan tanaman mereka. Lebih asyiknya lagi, hujan senang memberi pelajaran pada orang-orang sombong. Hahaha.”

“Bagaimana bisa?”

“Waktu hujan turun, sepatu semahal apapun yang mereka pakai akan tetap kena becek. Baju yang mereknya mereka banggakan akan tetap basah. Dan bedak setebal apapun yang tante-tante gunakan itu akan tetap luntur oleh air hujan.
Hujan juga bisa membuat kita sadar, bahwa memang ada hal-hal yang bisa terjadi di luar kendali kita. Salah satunya ya, hujan itu sendiri.”

Lalu kami sama-sama terdiam, hanya memandang hujan yang sedari tadi kami tunggu redanya.

“Kalau kamu, juga suka sama hujan? Atau malah benci, seperti orang kebanyakan?”

“Gimana ya, dibilang suka, enggak. Dibilang benci juga enggak. Biasa aja sih.”

“Terus kamu sukanya apa?”

“Eh?”

“Iya, apa yang paling kamu senangi?”

Aku tergeragap dengan pertanyaan itu. Sebelumnya tak pernah ada yang melontarkan pertanyaan semacam itu kepadaku.

“Seperti hobi gitu maksudmu?”

“Bukan, bukan, bukan hobi. Hobi itu kan kegiatan yang sering kamu lakukan untuk mengisi waktu luang. Yang aku maksud, hal apa yang paling kamu senangi?”

Aku terdiam sejenak sebelum menjawab.

“Aku nggak tahu.”

“Ha? Bagaimana bisa kamu nggak tahu apa yang kamu senangi?”

“Mmm… Apa ya…”

“Sesuatu yang bisa membuatmu bersemangat, yang membuatmu bergairah. Atau… Yang menjadi tujuanmu, begitu?”

“Aku lebih senang mengikuti alur, membiarkan semuanya mengalir saja,” jawabku sambil tersenyum. Ia mengangguk-angguk, seolah mengerti.

“Berarti kamu hujan itu sendiri.”

“Eh?”

“Iya, kamu bilang kamu lebih suka ikut mengalir saja, kan? Seperti air. Seperti hujan.”

Aku terdiam, masih mencoba memahami kata-katanya.

“Air-air itu, mana pernah mereka protes ketika awan mengusir mereka dari langit, menyuruh mereka turun ke bumi. Mereka juga nggak bisa milih untuk menjatuhi kepala siapa.”

“Iya juga ya.”

“Tidakkah kamu punya suatu keinginan?”

Aku tak langsung menjawabnya.

“Keinginan ya? Kurasa nggak ada. Aku percaya kalau apapun yang diberikan pada kita, itulah yang terbaik untuk kita. Jadi untuk apa lagi kita meminta.”

Kini ia yang terdiam. Matanya kembali menerawang hujan.

“Gitu ya?”

“Iya, itu menurutku sih.”

“Biar aku tebak, kamu pernah trauma karena menginginkan sesuatu ya?”

Pertanyaannya kembali menohokku. Seketika itu aku berharap hujan reda agar berakhir perbincangan kami ini.
“Hahaha.” Aku hanya tertawa, berusaha menyembunyikan kegugupanku.

“Iya, kan?” Ia mendesak dengan pandangan mata yang menginterogasi.

“Hmmh… Sebetulnya, aku nggak trauma. Hanya saja aku belajar.”

“Belajar?”

“Iya, aku belajar. Bahwa keinginan itu bisa menjadi semacam bumerang buatmu, bisa sangat menyakitkan.
Ketika kita menginginkan sesuatu, kita cenderung lupa kalau akan ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Terkabulkan, atau tidak terkabulkan. Dan kita sering lupa kalau sebenarnya kita ini makhluk lemah. Sangat lemah.”

“Dengan kata lain, kamu bilang kalau lebih baik kita nggak berharap, biar kita nggak merasa sakit kalau harapan kita nggak terwujud?”

“Ya kira-kira begitulah.”

“Kamu jadi takut untuk berharap atau menginginkan sesuatu?”

“Aku lebih suka mensyukuri apa yang diberikan kepadaku daripada memikirkan sesuatu yang nggak kupunya.”

“Aku nggak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau aku hidup tanpa punya keinginan.”

“Mudah saja. Segala sesuatunya akan jadi lebih sederhana. Yang perlu kamu lakukan hanyalah menerima.”

“Seperti titik-titik hujan itu ya.”

Aku mengangguk pelan dan mengikuti pandangannya yang menembus hujan. Lalu kami sama-sama terdiam. Lama sekali. Hingga perlahan hujan menjadi gerimis. Dan akhirnya hanya menyisakan hawa dingin Bulan Februari.

“Ah, akhirnya. Itu ayahku, yang pakai jas hujan hijau. Aku duluan ya!” Gadis kecil itu berlari meninggalkan emperan toko tempat kami berteduh.

Aku sendiri belum beranjak. Kunyalakan satu batang rokokku sambil memikirkan obrolan tadi. Ah, punya keinginan, seperti apakah rasanya? []

1 comments:

 

My Tweeeeet