Kulihat
peluh mengucur deras dari dahi pakdhe. Keringat dingin. Jelas sekali ia gugup,
atau takut? Aku tak tahu pasti apa namanya itu, yang pasti ia dalam perasaan
yang amat tak enak. Dan aku merasakannya pula. Sampai detik ini aku masih belum
tahu apa yang terjadi, apa yang akan kuhadapi. Ini pertama kalinya aku turut
pakdhe ke kota, mencoba peruntungan setelah sekian lama aku hanya menggarap
sawah orang lain di kampung. Pakdhe adalah seorang sopir truk yang sering
mengangkut barang-barang dari satu kota ke kota lain. Kurang lebih sudah lima
tahun ia bekerja. Dan aku tak mengerti mengapa menghadapi jembatan timbang
seperti ini saja ia masih begitu gugupnya. Pastilah ada sesuatu. Namun aku
belum tahu.
Antrian
perlahan maju. Pelan tapi pasti. Dan pakdhe semakin gugup. Ia menggenggam
sesuatu di tangan kanannya, tak jelas apa. Berkali ia tengok kanan kiri, depan
belakang. Seperti anak laki-laki yang akan disunat saja. Perasaanku juga ikut
tak enak namun aku tetap berlagak tenang, tak berani aku bertanya pada pakdhe tentang apa yang
terjadi. Pakdheku itu orangnya baik sekali, ramah dan suka memberi. Aku amat
hormat dan segan padanya.
Perlahan
tapi pasti, truk kami maju sedikit demi sedikit. Satu per satu truk didepan
kami telah pergi, kembali melaju setelah petugas menyelesaikan proses yang aku
tahu apa namanya itu. Dan dua truk lagi, tibalah giliran kami. Pakdhe menyeka
keringat dinginnya dengan handuk kecil. Aku ingat betul handuk itu. Handuk dari
Budhe Suti, istri tercintanya di kampung, yang merupakan kakak kandung dari
ibuku.
Satu
truk lagi didepan kami. Pakdhe terlihat lebih tenang, atau berpura-pura tenang?
Yang pasti ia masih menggenggam sesuatu di tangan kanannya dengan erat.
Dan
truk didepan kami telah selesai. Giliran kami. Namun pakdhe malah memacu truk
dengan gas hampir maksimum. Ketika melewati petugas ia melemparkan sesuatu yang
sedari tadi digenggamnya. Aku masih tak tahu apa itu. Aku menengok ke belakang
namun tak tampak itu apa. Dari kaca spion aku melihat petugas itu memungutnya.
Dan pakdhe masih menginjak pedal gas, buru-buru pergi dari situ. Dan dalam
waktu sepersekian menit truk kami telah kembali berada di antara deru debu
jalan raya. Kami melewati jembatan timbang begitu saja, tanpa prosedur apapun,
tanpa ditimbang dan tanpa tetek bengek lainnya. Kini aku sedikit paham.
Pakdhe
jelas terlihat telah tenang, lega. Ia melihat kearahku yang sedari tadi hanya
diam saja tanpa berani bertanya. Ia tahu kalau aku penasaran.
“Ojo
kaget yo le. Ya gini ini emang kerja kita. Serba sulit, didesak sana sini. Kita
itu diakali, kalau mau slamet ya harus balik ngakali,” ia berkata sambil
menyeka dahinya dengan handuk lagi. Aku hanya manggut-manggut. Aku mengerti,
muatan yang kami bawa beratnya melebihi berat maksimal yang diizinkan. Maka
dari itu pakdhe memberi sesuatu untuk menyogok petugas tadi. Aku hanya diam
saja, tak berkata apapun. Tak berani protes atau menyanggah. Ini pakdheku,
orang yang telah mengajakku.
Aku
tak kaget dengan hal macam begituan. Di kampung kecilku, aku pernah mendapati
pak kades menerima amplop dari orang-orang parlente yang hendak membangun
perusahaan di tanah desa. Aku tak kaget.
Adzan
maghrib berkumandang. Aku meminta pakdhe segera mencari masjid. Satu masjid
terlewati. Dua masjid terlewati. Tiga masjid terlewati dan aku mulai bertanya
pada pakdhe. “Nanti saja di masjid yang sana, sebentar lagi sampai. Sekalian
istirahat le. Masjidnya lumayan gede.” Aku mengangguk mengiyakan.
Akhirnya
pakdhe menyalakan lampu sein kiri. Tibalah kami di masjid yang dimaksud pakdhe.
Memang masjidnya lebih besar daripada yang tadi-tadi kami lewati, lebih bersih
juga. Tak jauh dari masjid terlihat truk-truk lain yang diparkir. Sepertinya
masjid ini memang tempat persinggahan para sopir truk yang ingin menyegarkan
badan dan rohani lewat air wudhu. Di samping masjid juga terdapat warung makan
yang mulai ramai. Lengkaplah.
“Kita
disini transit dulu le. Nanti jam sepuluhan saja kita berangkat lagi. Kamu
istirahat aja di masjid. Ni sepuluh ribu buat makan. Makanan disitu enak,” kata
Pakdhe sembari menyodorkan selembar sepuluh ribu padaku.
“Lha
pakdhe mau kemana?”
“Aku
ada urusan lain sebentar. Pokoke jam sepuluh nanti aku sudah mbalik sini.”
Tanpa
bertanya lebih lanjut aku turun dan segera menuju masjid. Rindu aku dengan
kesegaran air wudhu setelah seharian ditelan debu.
Perutku
keroncongan. Jarum pendek jam dinding menunjuk angka sembilan. Ternyata aku
ketiduran setelah solat isya. Niatku hanya duduk-duduk di beranda masjid. Uang
yang diberi pakdhe belum kugunakan. Ingin sekali aku makan dengan pakdhe. Namun
akhirnya aku beranjak menuju warung makan. Sejak siang aku belum makan.
Warung
itu ramai. Pantas saja, kata pakdhe makanan disitu enak. Dan pasti murah.
Akupun masuk, langsung disambut oleh wanita yang kira-kira sebaya dengan ibuku.
Dengan keramahan khas sundanya ia menawariku mau makan apa. Dan dengan
cekatannya ia langsung menyiapkan makananku. Tak sampai lima menit aku sudah
disodorinya piring penuh makanan.
“Mau
minum apa, cep?” tanya ibu itu kembali.
“Air
putih saja, teh,” jawabku.
Aku
segera mengambil tempat duduk dan mulai makan setelah mengucap bismillah.
Di
tengah-tengah santapku, bapak-bapak yang duduk disebelahku menyapa. “Dari Jawa,
mas?”
Aku
yang kaget hampir tersedak. “Eh, iya, pak.” Orang Sunda memang menyebut Jawa
Tengah dan Jawa Timur sebagai “Jawa”.
“Mana
Jawanya mas?”
“Kebumen,
pak.”
“Oh,
Kebumen. Ikut siapa disini mas?”
“Pakdhe
pak. Pakdhe Wir.”
“Owalah
si Wiryo to.. Ya ya ya.”
“Bapak
kenal?”
“Wah
yo ndak kenal lagi mas, tapi kenal banget. Lha mana sekarang pakdhemu itu?”
Aku
kikuk. “Kurang tahu, pak. Tadi katanya ada urusan gitu. Saya ndak tahu.”
Bapak
itu tertawa. “Wah yo pastine iki lagi sama si Astin yo mbak,” ia berkata pada
ibu penjaga warung. Ibu itu menjawab sambil tersenyum, “Iya, atuh. Ngapain lagi
dia kesini kalau bukan buat ketemu Astin.”
Aku
tak paham dengan pembicaraan ini. Dan mereka paham. Mereka tertawa, tersenyum
penuh makna. Bapak itu membaca raut muka bingungku. Ia menepuk pundakku, “Ojo
kaget yo le yo. Ya memang begini kenyataannya. Kalau bisa ya kamu jangan ngikut
pakdhemu besok.” Aku masih tak paham. Nasi di piringku masih sedikit namun aku
sudah tak bernafsu. Tapi tetap kuhabiskan karena aku tak tega untuk menyisakan
makanan yang sudah diberikan padaku. Terhadap bapak itu aku hanya tersenyum dan
mengangguk, melanjutkan makan. Kerongkonganku sangat tak nyaman, namun
kupaksakan ia menelan. Bapak itu sepertinya mengerti betul akan kondisiku saat
ini. Pastilah ia juga sudah lama berkecimpung menjadi sopir truk.
Tepat
setelah aku meletakkan sendokku di piring, datang seorang lelaki paruh baya
yang sepertinya juga seorang sopir. Di sampingnya menggelendot dengan mesra
seorang wanita belia, umurnya dibawahku mungkin. Perempuan itu tampak malu
ketika aku melihat kearahnya, ia menunduk dan mengalihkan wajah. Berpura-pura
ramah kembali kepada lelaki yang sedari tadi digandengnya dengan mesra.
Perlahan aku mulai paham. Tak mungkinlah laki-laki itu bapaknya. Seorang bapak
tak mungkin membawa anak perempuannya keluar dengan pakaian serba mini seperti
itu, apalagi ke warung makan yang banyak dikunjungi para sopir. Atau hanya di
desaku saja yang tak mungkin? Aku tak tahu. Di benakku tiba-tiba saja terlintas
wajah Budhe Suti. Telah lama aku mengenal pakdhe, semenjak aku mulai bisa
memanggilnya ‘Pakdhe’, hingga kini aku beranjak dewasa. Ditambah kejadian tadi
siang, sepertinya pelan-pelan aku belajar sisi lain dari manusia biasa yang
kupanggil Pakdhe itu.
Bagus dek,
BalasHapusmakasih mas..
BalasHapus