Melestarikan Budaya Antikritik

“dia tua
tapi ingin tetap berkuasa
tak boleh ada calon lain selain dia
kalau marah, mengarahkan angkatan bersenjata
rakyat kecil yang tak bersalah
ditembak jidatnya
coba tebak siapa dia?
dia adalah aku!”


ITU adalah sepenggal bait yang diambil dari puisi berjudul “Ayo Kita Tebakan!”, bikinan Wiji Thukul tahun 1998. Bagi yang belum tahu siapa itu Wiji Thukul, ia adalah seorang seniman dan aktivis pra-reformasi. Hingga kini, Wiji Thukul masih berstatus “hilang”.
Tak hanya Thukul, masih terdapat aktivis-aktivis lain yang sampai sekarang tak diketahui keberadaannya, tak diketahui pula apakah masih hidup atau tidak.
Tim Mawar yang merupakan bentukan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) menyatakan telah melepas aktivis-aktivis yang mereka jemput paksa (baca: culik) pada 1997-1998. Namun hanya sebagian saja yang diketahui telah dilepaskan. Yang lain? Entah bagaimana nasibnya.
Penculikan para aktivis tersebut diinstruksikan dalam rangka stabilisasi keamanan negara, begitu menurut Tim Mawar, tim yang sengaja dibentuk untuk melakukan penculikan itu.
Mereka-mereka yang diculik dinilai telah mengganggu keamanan, merencanakan makar, membangkang, dan sebagainya. Mereka-mereka itu, para aktivis yang dengan lantangnya menyuarakan tuntutan mereka terhadap pemerintah yang sewenang-wenang, dibungkam.
Kini lima belas tahun telah berlalu sejak peristiwa Mei 1998 atau yang dikenal dengan reformasi. Lima belas tahun pula Soeharto lengser sebagai kepala negara. Demokrasi dengan cepat naik daun. Kebebasan berpendapat dinyanyikan dimana-mana.
Tapi sebebas apakah?
Soeharto terkenal sebagai pemerintah yang sangat tak ramah terhadap kritik. Saat masa pemerintahannya yang selama 32 tahun itu, belum ada apa yang kini kita namakan kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Soeharto tak suka dikritik.
Lalu katanya kini adalah era demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Katanya kini setiap orang bisa mengkritik pemerintahnya. Karena pemerintah bekerja untuk rakyat, seharusnya pemerintah pun mendengarkan apa yang disuarakan oleh rakyatnya. Alangkah indah sistem demokrasi itu!
Kini sudah lima belas tahun berlalu sejak Soeharto tak lagi jadi presiden, apakah pemerintah sudah mau menerima kritik, mendengarkannya dan menanggapi dengan baik?
Tapi Soeharto mungkin ada benarnya juga. Siapa pula yang suka dikritik? Dikritik itu kan tak enak. Yang mengkritik gampang saja, tinggal bicara dan koar-koar tentang apa yang dimaunya. Apa kalian tak kasihan terhadap pemerintah kita kalau kita kasih kritik terus?
Dikritik itu tidak enak ya, Bapak? Susah memang jadi pemimpin di Indonesia. Rakyat gampang saja kritik sana kritik sini. Bapak yang sudah bekerja susah payah buat rakyat, masih harus mendengar ocehan-ocehan mereka yang minta ini minta itu.
Korupsi sedikit dikritik, kolusi sedikit dikritik, nepotisme juga dikritik! Apa kalian tak ada kerjaan lain selain jadi tukang kritik? Pantas saja tak kunjung punya mobil. Bukan begitu, bapak?
Mahasiswa juga sama saja. Bukannya kuliah yang rajin, mengerjakan tugas-tugas dari bapak ibu dosen, malah ikut-ikut mengkritik petinggi kampus.
SPP mahal dikritik. Orang direktorat naik mobil mahal dikritik. Dosen makan gaji buta dikritik. Dosen nyambi proyek dikritik. Beasiswa tak kunjung cair dikritik. Peralatan praktikum rusak juga dikritik. Poliklinik abal-abal pun juga dikritik! Kalian kira gampang ya mengurus politeknik? Bukan begitu, bapak?
Jadi sebaiknya mari kita bersama-sama melestarikan budaya antikritik yang sudah dicanangkan Presiden Soeharto sejak dulu.
Siapa bilang kalau mau jadi pemimpin harus mau menerima kritik? Itu cuma mitos. Buktinya Soeharto pun bisa bertahan selama 32 tahun tanpa mau dikritik.
Meniru Soeharto yang antikritik, nantinya bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian akan sangat dikenang kalau sudah mati. Seperti Soeharto, yang kini senyumnya ada dimana-mana. Di spanduk perempatan, di stiker kaca warung tegal, di bak belakang truk dan lain-lain, dengan tulisan, “piye kabare? Iseh penak jamanku to? Opo-opo murah..” (termasuk nyowomu, dor!). []


*ditulis di Bulan Mei 2013. 

3 comments:

  1. Mbak bela, artikelnya yg ini suka banget. Pelan-pelan tapi menusuk, ah tidak. Pelan-pelan tapi langsung kena sasaran. Dor. Hahaha
    Terus menulis ya mbak! :)

    BalasHapus
  2. (Y) ketoke aku dadi isin ig mbak ...
    kenopo aku (dibaca:cowok) malah ngeblog galau sementara banyak tulisan catatan prjalanan seng cuman tak simpen neng laptop .....
    ketoke aku kudu sinau akeh karo kue ....

    BalasHapus
  3. trims intan..

    mift, kenapa gitu cuma disimpen di laptop? sok eksklusif ah

    BalasHapus

 

My Tweeeeet