Atambua terkenal karena posisinya yang berada diujung
Indonesia, berbatasan langsung dengan Timor Leste. Negara tetangga itu bisa
dijangkau kurang dari satu jam perjalanan darat dari Atambua.
Atambua bukan nama kota, melainkan kecamatan. Ia merupakan
ibukota dari Kabupaten Belu, terletak diujung timur Indonesia di Pulau Timor,
sekitar 8 jam perjalanan darat dari Kupang.
Bicara Atambua tak akan pernah terlepas dari sejarah yang
membentuknya menjadi sedemikian rupa: kota kecil yang tenteram dengan mayoritas
penduduk beragama nasrani.
Dulu, dulu sekali, pernah terjadi satu peristiwa berdarah
yang mengatasnamakan kedaulatan dan kemerdekaan. Atambua menjadi saksi bisu
atas pecahnya kedamaian yang berujung pada pelepasan Timor Leste dari NKRI.
Toh, semua itu sudah berlalu, dan kini Atambua sedang
menikmati masa damainya dimana masyarakat yang berbeda-beda dapat hidup
berdampingan bahkan berdansa bersama.
Ketika saya disana, tak sekalipun saya mendapati perlakuan
yang tak mengenakkan atau kebencian karena saya pendatang, dan saya muslim.
Bahkan, ketika diundang menghadiri pesta pernikahan, selalu
ada makanan tersendiri yang memang dibedakan untuk kami yang muslim agar tak
memakan babi. Sei babi merupakan salah satu masakan khas Timor yang hampir
selalu ada dalam acara-acara hajatan. Bila ada tamu undangan yang muslim, akan
disediakan sei sapi yang biasanya dimasak pula oleh orang muslim.
Tradisi meminum minuman keras pun tak dipaksakan pada kami.
Namun dengan hangatnya mereka selalu menggandeng tangan kami untuk mengajak
kami berdansa atau menari tebe.
Tebe adalah sejenis tari yang menjadi tradisi dalam setiap
pesta. Orang-orang membentuk lingkaran, saling bergandengan, lalu berputar
sambil mengayunkan kaki bergantian, mengikuti irama musik yang mengiringinya.
Sedangkan bila ingin sesuatu yang lebih romantis, kita bisa
berdansa berpasang-pasangan, disesuaikan dengan musik yang sedang diputar.
Masyarakat Atambua senang sekali berpesta dan berdansa.
Setiap ada hajatan, pesta selalu digelar sampai pagi, bahkan berhari-hari.
Dansa-dansi menjadi satu tradisi yang tak pernah lepas dari pesta.
Aku sendiri merasa sangat – sangat – terhormat mendapati
sambutan yang menyenangkan dari masyarakat sana. Bukan sambutan meriah dengan
kalungan karangan bunga dan lagu-lagu yang merdu. Melainkan hal-hal kecil yang
menunjukkan toleransi mereka terhadap orang yang berbeda, terhadap kaum
minoritas disana.
Sementara itu di pulau kelahiranku, dimana mayoritas
penduduk adalah kalangan terpelajar yang pernah mengenyam bangku pendidikan,
masyarakat saling beradu argumen – tak jarang pula yang beradu otot –
mempertahankan dan membela agamanya masing-masing.
Cap kafir kerap dilayangkan, pengusiran bahkan dilakukan
terhadap kelompok-kelompok yang dianggap tak sejalan. Setiap orang saling
memaki dan berharap kedamaian akan turun dari langit. Sungguh, saya merasa malu
dengan orang-orang Timor ini yang sebagian besar tak punya ijazah sekolah. []
0 comments:
Posting Komentar