I Love Writing More Than Yesterday

Ada satu kalimat terlontar dari salah seorang teman yang menyentak saya beberapa waktu lalu. Awalnya, kami berbincang melalui telepon, saling menceritakan pengalaman-pengalaman yang baru-baru saja kami alami. Ketika giliran saya bercerita tentang pengalaman lucu yang baru saja saya alami, ia membalas begini, “bisa ditulis itu, udah lama nggak nulis kan ya. Kayaknya terakhir Bulan Juli.”
Saya kaget, tak menyangka ia membuka blog saya. Memang benar sudah lama saya tak update blog. Ta ada satu hal pun yang bisa saya jadikan alasan kecuali rasa malas. Padahal, di dalam kepala rasanya sudah terlalu penuh. Terlalu banyak cerita yang belum dikeluarkan, dan terus berputar-putar dalam otakku yang kecil ini. Hampir setiap hari terbesit pikiran “saya harus segera menulis sebelum kepala ini meledak.” Namun kenyataannya, belum satupun tulisan utuh saya hasilkan selama disini. Rupanya lagi-lagi saya mengalami writer block. Semacam kebuntuan untuk menulis, mewujud dalam “tak tahu harus menulis apa” (padahal kepala terasa penuh sekali) dan berujung pada rasa malas untuk melihat halaman kosong.
Saya bertekad mengakhirinya. Tak boleh dibiarkan lama-lama, nanti benar-benar saya bisa meledak bila tak kunjung mau menulis. Mau menunggu mood? Tak boleh! Saya selalu teringat pada kata-kata salah seorang teman baik saya. “Mood itu dibangun, bukan ditunggu.” Kalimat itu benar sekali, menurut saya. Kitalah yang seharusnya mengendalikan diri kita— termasuk otak dan perasaan, bukan kita yang dikendalikan. Jadilah saya memulai tulisan ini.
Biasanya, saya dapat memenuhi satu halaman A4 dalam waktu beberapa menit saja dengan bahan yang sudah meluap-luap di kepala. Tapi kali ini untuk menyelesaikan satu tulisan saja rasanya berat sekali. Penundaan tak terhindarkan. Namun pelan-pelan saya mencoba menyelesaikan apa yang telah saya mulai. Salah satu kebiasaan buruk saya adalah tidak menyelesaikan tulisan. Perlahan saya ingin menghilangkan kebiasaan buruk itu dengan berusaha menyelesaikan tiap tulisan yang telah saya mulai. Karena tiap draft tulisan, bagaimanapun juga, merupakan buah pemikiran saya yang akan menjadi sia-sia bila tak diwujudkan. Bagi saya, ide itu mahal harganya.

Menulis itu melegakan
Sulit menulis sungguh membuat saya menjadi tak nyaman. Writers block menjadi semacam penyakit bagi tiap penulis. Saya merasa belum pantas menjadi seorang penulis. Namun merasa sudah mengalami writers block atau kebuntuan. Sebenarnya ada banyak faktor yang dapat menyebabkan kebuntuan. Antara lain karena jarang membaca, kelelahan, sedang banyak masalah yang terpikirkan, dan perasaan yang sedang dirundung duka. Saya mengalami empat-empatnya. Ketika itu, saya benar-benar tak memedulikannya dan tetap berpikir “just let it flow, nanti juga hilang sendiri.”
Pada suatu hari, kami mendapat pembelajaran dari unit assessment centre, semacam unit yang menangani urusan pengembangan sumberdaya manusia perusahaan dan pembinaan karakter. Pada pertemuan terakhir, bapak pengajar membagikan kertas A4 kosong kepada tiap siswa. Lalu ia meminta kami menuliskan apa-apa yang menjadi masalah kami dalam beberapa hari terakhir, atau apapun yang ingin kami sampaikan dan ingin kami tulis. Rasanya campur aduk. Antara senang karena diberi kesempatan menulis, dan takut karena kertas yang putih itu terasa begitu kosong dan saya tak tahu harus mengisinya dengan apa. Namun hingga waktu yang diberikan habis, saya mampu memenuhinya dengan tulisan. Rasanya, melegakan sekali. Sepertinya otak saya sedikit mereda ketika telah berhasil menyelesaikan satu tulisan.

Benar adanya, kalau menulis itu dapat dijadikan alternatif untuk melegakan pikiran, menyampaikan hal-hal yang tak tersampaikan, menyalurkan rasa dan emosi, serta mengembangkan ide. I think I love writing, more than yesterday. []

1 comments:

 

My Tweeeeet