Menjadi Ahli Meteorologi yang Punya Suami Kaya Raya


Siang itu pada hari Rabu, langit sedang cerah-cerahnya tanpa mendung yang menggelayut. Tiba-tiba saja aku didatangi Bulan. Bukan jenis datang bulan yang dialami tiap wanita, karena aku yakin Bulan yang satu ini belum tentu hadir di kehidupan setiap perempuan di dunia. Bukan juga bulan yang menggantung di langit malam. Bagiku, Bulan yang satu ini lebih istimewa dan mudah dirindukan.
Teleponku berbunyi, tak lama setelah aku mengirim Direct Message via Twitter yang berisi nomor teleponku kepada seorang teman lama. Baru saja aku mau mengabarinya kalau aku sudah mengirim nomor yang ia minta. Belum sempat aku menyelesaikan mentionku, nomornya telah muncul di layar telepon genggamku, memanggil.
Awalnya adalah ucapan salam dari suara bersahaja, dan kemudian, “Belaaaaa!” Suara semi cempreng yang lama tak kudengar dengan nada yang tak berubah seperti dulu.
“Halo, Bulan!”
Itulah bagaimana kami mengawali pembicaraan setelah sekitar setahun lebih kami tak bertemu dan tak berkomunikasi. Rupanya telepon genggam lamanya rusak sehingga ia kehilangan nomorku. Aku pun mengalami hal yang sama. Kami saling mendengar kabar masing-masing dari orang lain. Itupun hanya kabar samar yang terbawa angin.
Aku mengenal Fransisca Bulan sejak tujuh tahun yang lalu ketika kami memasuki sekolah menengah atas yang sama, dan masuk ke kelas yang sama. Pembawaannya yang ceria dan mudah bergaul membuat banyak orang bisa berteman dengannya, termasuk aku. Meski tak bisa dibilang sahabat dekat, kami telah melewatkan banyak waktu bersama, melakukan banyak hal bersama, berbagi banyak cerita dan rasa. Hingga masa kuliah pun kami masih cukup sering bertemu meski hanya sekadar makan siang bersama.
Melalui telepon siang itu kami saling bertukar kabar saat ini. Rupanya ia telah berhenti bekerja di perusahaan asing asal UK, dan sedang menghabiskan masa-masa terakhirnya di Jakarta sebelum pindah ke kota lain untuk sebuah pekerjaan baru. Mendengar ceritanya yang tersampaikan dengan suara ceria, aku ikut berbahagia.
“Kosku tuh di daerah Kuningan, Bel,” jawabnya ketika aku bertanya di daerah mana ia sedang tinggal.
Belum sempat aku membalas, ia sudah melanjutkan. “Iya, deket banget sama kantor KPK. Kemarin itu rame-rame gitu aku lewat.”
“Tapi kamu nggak ikut demo kan?”
“Enggaklaah, yang bener aja. Emangnya aku kamu. Kalo kamu disini pasti udah ikut yang gitu-gitu,” ucapnya sambil tertawa. Ia masih mengenaliku sebagai diriku yang dulu.
Kami juga saling berbagi cerita dan rasa tentang pengalaman kami selama terpisah. Ia dengan hiruk pikuk Jakartanya dan aku dengan kesunyian Pulau Borneoku. Perbedaan itu yang membuat kami bisa saling berbagi. Sejak dulu seperti itu.
Aku dan Bulan bukan dua orang dengan banyak kesukaan yang sama. Begitu banyak perbedaan diantara kami tapi kami bisa saling mendekat. Mulai dari sifat, kebiasaan, lagu favorit, cita-cita, dan lain sebagainya. Tak jarang kami saling membagi apa yang menjadi kesukaan kami, memberi referensi satu sama lain. Ia adalah tipe orang yang teratur dan pecinta damai sedangkan aku cenderung berantakan dan sembrono. Aku masih mengingat bagaimana ia sering menasehatiku dengan nada bijaksana atas pilihan-pilihan yang kuambil. Di telepon kemarin pun ia masih mengingat kebiasaanku dan masih menasehatiku juga.
Ketika aku bercerita bahwa setelah kembali tinggal di Jawa aku sempat bergabung dengan LSM, ia memberondong dengan pertanyaan dan nasehat. Aku tertawa mendengarnya, masih seperti Bulan yang aku kenal. Ia peduli padaku, peduli pada masa laluku, masa kiniku, juga masa depanku. Soal pilihan hidup pun kami banyak berbeda, tapi kami saling menghormati dan tak pernah ikut campur secara langsung untuk mengubah keputusan masing-masing.
“Aku inget kamu dulu pengennya jadi peneliti atau meteorolog gitu. Pokoknya kerja yang gitu-gitu deh. Dulu kalo ditanya, Bulan pengen jadi apa? Jadi dokter. Kalo Bela pengen jadi ahli meteorologi,” kenangnya. Aku malah hampir melupakan percakapan itu.
Dulu ia bercita-cita masuk Fakultas Kedokteran. Sedangkan aku ingin berkuliah di Jurusan Astronomi atau meteorologi. Lalu ia berusaha menjelaskan padaku kalau masuk jurusan itu setelah itu mau jadi apa mau bagaimana bla bla bla, tentang sulitnya kehidupan, tentang biaya penelitian yang tak murah, dan lain sebagainya. Kemudian aku membalasnya dengan candaan. “Yaudah, Bulan pengen jadi dokter. Aku pengen jadi ahli meteorologi, tapi ntar punya suami yang kaya banget jadi bisa mbiayain penelitianku,” jawabku.
Ia yang mengingatkanku akan jawabanku pada masa itu. Jawaban yang tentu saja sekadar kelakar. Tapi mengetahui bahwa ia masih mengingatnya, membuatku merasa hangat dan tak sendirian di dunia. Ternyata memori bisa juga menghangatkan.
Tak terasa hingga waktu hampir menunjukkan pukul 12 siang kami bercakap-cakap. Ia meminta mengakhiri telepon karena akan memanjatkan Doa Angelus dan aku pun harus melaksanakan Solat Dzuhur. Kami berjanji untuk menelepon lagi di lain waktu. []


0 comments:

Posting Komentar

 

My Tweeeeet