Indonesia tengah menghadapi gempuran wisatawan baik lokal
maupun internasional. Meningkatnya animo masyarakat untuk berwisata dari tahun
ke tahun membuat statistik pengunjung daerah-daerah wisata di Indonesia
meningkat pula, bahkan dapat dikatakan drastis. Sayangnya, peningkatan itu tak
sebanding dengan kesiapan kita menghadapi serbuan turis, baik kesiapan dari
segi material maupun mental. Bila dibiarkan seperti ini terus tanpa ada usaha
pembaharuan sistem, tak hanya “Indonesia Darurat Narkoba” saja yang akan
dicetuskan oleh Presiden, tapi bisa-bisa kita juga akan mengalami “Indonesia
Darurat Wisata”.
Menilik target Menteri Pariwisata yang baru, yakni 20 juta
wisatawan mancanegara pada 2019, angka tersebut terdengar begitu visioner dan
tinggi, namun membuat saya bertanya-tanya. Dengan jumlah wisatawan mancanegara
kini yang masih dibawah 10 juta, turisme massal sudah tak terelakkan. Turisme
massal sejatinya berbeda dengan turisme alam atau yang lebih dikenal dengan
ekowisata. Ekowisata yang mengedepankan wisata berbasis alam tidak mengutamakan
jumlah pengunjung. Namun kini keduanya berbaur dan hampir tak dapat dipisahkan.
Objek-objek alam kini banyak yang dilacurkan demi peningkatan statistik di
kementerian pariwisata. Bila butuh
contoh, coba tengok kondisi Cagar Alam Sempu di Jawa Timur dan Pulau Randayan
di Kalimantan Barat sekarang.
Lalu haruskah kita membatasi jumlah wisatawan pada
tempat-tempat wisata yang sudah terlanjur dipromosikan? Atau menahan laju
pertumbuhan pariwisata Indonesia demi menjaga kondisi alam kita agar tetap
asri? Tentu tak bisa. Karena keinginan untuk berwisata merupakan hak setiap
manusia. Terutama di era dimana tingkat stress
cenderung tinggi seperti sekarang, traveling
untuk berwisata merupakan salah satu solusi untuk menjaga akal sehat yang kini
makin disadari oleh masyarakat. Hasrat untuk mengalihkan diri sejenak dari
rutinitas dan kepenatan tak bisa ditahan. Pertumbuhan pariwisata pun juga baik
untuk Indonesia. Yang menjadi pertanyaan kita kini adalah bagaimana mendukung
pertumbuhan pariwisata Indonesia tanpa mengorbankan alam?
Desa sebagai
Pendukung Wisata Alam
Alam merupakan potensi Indonesia yang menjadi magnet utama
untuk menarik pengunjung selain keragaman budaya kita yang terkenal dan
keramahan penduduk lokal. Sejak zaman Indonesia dijajah Belanda pun keindahan
alam kita sudah terkenal hingga mancanegara. Keindahan tersebut akan terkikis
perlahan bila kita terpaku pada pariwisata konvensional yang mengabaikan
kerusakan lingkungan. Pariwisata konvensional di Indonesia kini didominasi oleh
para pemilik modal yang mengambil alih titik-titik wisata dan biasanya melakukan
pembangunan besar-besaran tanpa memperhatikan bahwa sumber daya alam yang
mereka eksploitasi bisa saja habis.
Bila pemerintah dapat bersikap tegas menolak investor yang
akan mengambil alih pengelolaan potensi wisata dan mengalihkannya kepada
penduduk lokal, itu akan sangat bagus, baik untuk kelestarian alam maupun
peningkatan ekonomi penduduk lokal. Meski akan kehilangan dana investasi yang
cukup besar dan malah membutuhkan investasi untuk pelatihan dan persiapan penduduk
lokal dalam pengelolaan wisata, tapi hasil yang akan didapat akan sebanding dan
menghasilkan sistem pariwisata yang berkelanjutan atau sustainable. Menengok potensi-potensi alam kita yang tak jauh dari
pedesaan, konsep desa wisata dapat dijadikan dasar untuk membangun sustainable
tourism yang tetap mampu menarik pengunjung.
Konsep desa wisata telah banyak diterapkan di berbagai
penjuru di Indonesia, tak hanya di Pulau Jawa. Penerapannya pun beragam.
Masing-masing wilayah memiliki gaya dan kekhasannya sendiri. Misal di daerah
pegunungan, agrowisata menjadi andalan.
Namun kebanyakan desa wisata pun masih menerapkan pariwisata
konvensional yang menganggap bahwa turis adalah konsumen. Hubungan antara
penduduk lokal dan turis hanya sebatas penjual dan pembeli. Tak jarang, karena
turis merasa bahwa ia adalah pembeli, maka ia berhak meminta pelayanan yang
sesuai keinginannya tanpa memperhatikan kearifan lokal. Penduduk lokal selaku
penyedia barang dan jasa pun merasa harus menuruti keinginan pembeli. Dengan
begitu, lama kelamaan daerah tersebut dapat kehilangan kekhasannya karena terus
menerus menyesuaikan selera pendatang.
Nyaman Tak Harus
Mewah
Ciri khas dari suatu daerah dapat dijaga dengan tetap
memenuhi kebutuhan turis. Yang menjadi pokok kebutuhan wisatawan selain
kegiatan wisata antara lain tempat menginap dan makanan. Kedua hal itu dapat disediakan dengan
memanfaatkan potensi lokal wilayah tersebut. Tempat menginap dapat disediakan
oleh penduduk lokal dengan menyediakan satu atau dua kamar tidur dengan kamar
mandi dan toilet yang nyaman dan bersih, tak perlu mewah dan bergelimang
peralatan mahal. Modal dapat dipinjamkan kepada penduduk untuk membuat kamar
yang akan disewakan di masing-masing rumah, dengan kesepakatan bahwa penduduk
akan mengembalikan modal tersebut dalam jangka waktu tertentu. Kemandirian
masyarakat yang sadar wisata akan terbangun.
Makanan pun dapat disediakan juga oleh tuan rumah dengan mengolah
bahan-bahan lokal yang segar. Olahan tersebut dapat menjadi ciri khas yang akan
lebih berkesan bagi wisatawan. Tuan rumah dapat menyediakan makanan sesuai
selera wisatawan namun tetap menggunakan bahan-bahan yang didapat dari hasil
pertanian sekitar. Keakraban antara penduduk lokal dan pengunjung pun dapat
terjalin.
Saya sendiri pernah berkunjung ke Dusun Mas Rejomulyo, Desa
Kalianyar, di Bondowoso, Jawa Timur. Meski bukan berstatus sebagai desa wisata,
lokasinya yang berdekatan dengan objek wisata Kawah Ijen dan pemandian air
panas Blawan menjadikan desa ini sering dikunjungi turis, baik lokal maupun
internasional.
Adalah Pak Tutik, seorang penduduk lokal yang menyediakan
beberapa kamar di rumahnya untuk wisatawan yang ingin menginap. “Biasanya kalau
diatas sana (di kawasan Ijen) sudah ndak
ada kamar ya pada kesini,” tuturnya.
Kesadarannya tentang kebutuhan wisatawan akan tempat
menginap yang nyaman dan bersih membuatnya secara swadaya merombak rumahnya
yang sederhana agar menjadi lebih nyaman untuk tamu. Makanan pun istrinya
sendiri yang memasak. Biasanya mereka menghidangkan nasi putih yang dicampur
jagung dengan sayuran dan lauk pauk, ditambah sambal tomat yang mantap. Semua
bahan kecuali lauk pauk diambil dari tanaman sendiri. Tak mewah, namun rasanya
membekas di lidah.
Lalu dimana peran wisatawan untuk mendukung konsep wisata
yang memadukan sustainable tourism dan
socio tourism ini? Dengan lebih
memilih jasa yang disediakan penduduk lokal alih-alih jasa yang disediakan oleh
investor besar, wisatawan telah berkontribusi untuk mendukung berkembangnya
ekonomi kreatif masyarakat desa, mendukung sustainable
tourism dan socio tourism yang
tak hanya membatasi hubungan antara penduduk lokal dan wisatawan hanya sebatas
hubungan penjual dan pembeli.
Tanpa harus menetap lama untuk menjadi volunteer dalam rangka pemberdayaan masyarakat desa, kita bisa
berkontribusi secara sukarela sembari menikmati perjalanan wisata kita. Mengapa
sangat penting untuk mendukung keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan
wisata? Karena memang seharusnya merekalah yang mengelola “rumah” mereka
sendiri, bukan orang asing. Orang asing hanya akan mengambil keuntungan, namun
mungkin tak bisa mencintai daerah tersebut. Pemilik rumah bagaimanapun
mencintai tanahnya sendiri dan berupaya menjaganya.
Bila wisatawan terus menerus memberikan pemahaman bahwa
mereka adalah pembeli, tanpa dukungan kepada penduduk lokal untuk
mempertahankan ciri khas masing-masing, kepercayaan diri penduduk lokal akan
daerahnya sendiri pun dapat tergerus. Sudah cukup banyak identitas bangsa kita
yang hilang, jangan sampai pariwisata pun menggempurnya. []
0 comments:
Posting Komentar