Cinta Tak Bersyarat

Judul              : Sebelas Patriot

Penulis            : Andrea Hirata

Penerbit           : PT Bentang Pustaka

Cetakan pertama    : Juni 2011

Tebal              : xii + 112 hlm

No. ISBN           : 978-602-8811-52-1

“Jika ada hal lain yang sangat menakjubkan di dunia ini selain cinta, adalah sepak bola.” ―Andrea Hirata

           

Lapangan hijau. Gawang. Dua puluh dua pemain. Kartu Kuning. Mungkin itulah gambaran yang muncul di benak kita saat ada yang menyebut sepak bola. Siapa yang tak mengenalnya. Permainan yang sudah ada sejak sebelum masehi ini telah menjangkiti berbagai kalangan, usia, suku, ras. Mulai dari anak TK hingga orang tua yang sudah tak bergigi menggemarinya, bahkan tergila-gila karenanya. Mulai dari yang duduk diatas delman mengendali kuda hingga yang duduk diatas kursi empuk senayan pun tak terelakkan. Namun seringkali, banyak hal-hal menarik didalamnya yang tak terjamah mata kita. Menurut Andrea Hirata, sepak bola adalah lebih dari sekedar permainan dua kali empat puluh lima menit. Sepak bola dibalik keriuhannya, menyimpan berbagai detil-detil unik yang seringkali terlewatkan oleh penonton.  Seni, politik, bisnis, budaya, keikhlasan, patriotisme, cinta, dan masih banyak lagi. Segalanya dapat bermula dari sepak bola, dan dapat berakhir pula di sepak bola.

Bermula saat ia menemukan sebingkai foto usang dalam album foto milik orangtuanya, cerita cintanya dengan sepak bola dimulai. Foto itu, foto samar seorang lelaki muda―yang di kemudian hari baru ia ketahui bahwa pria di foto itu adalah ayahnya―sedang mengangkat piala. Cerita pilu dibalik foto yang sengaja ditutup-tutupi malah semakin membuatnya semakin ingin mencari tahu.

Bagaimanapun sejarah dikubur dalam-dalam, ternyata angin tetap menghembuskannya. Ikal―nama kecil Andrea―akhirnya mengetahui bahwa dulu ayahnya adalah seorang pemain bola yang amat hebat namun berakhir tragis di tangan kumpeni yang saat itu menjajah bangsa kita. Tempurung kaki kiri ayahnya hancur diremukkan setelah memenangkan pertandingan melawan Belanda, pertandingan bola yang lebih dari sekedar pertandingan bola, pertandingan yang mempertaruhkan harkat dan martabat bangsa yang terjajah di hadapan tuan jajahannya. Dan tentu saja setelah itu ia tak mampu bermain lagi. Nasib ayahnya masih lebih bagus ketimbang kedua saudara ayahnya yang dilenyapkan hingga lenyap oleh Belanda, karena mereka pemain bola yang amat hebat. Namun meski begitu, sedikitpun ia tak membenci sepak bola, malah tetap mencintainya sepenuh hati. Itulah cinta tak bersyarat. Cinta yang bercampur dengan patriotisme, pengorbanan, dan keikhlasan.

Setiap melihat foto itu, aku dilanda perasaan yang menggebu-gebu tentang Pelatih Amin, paman-pamanku, sebelas patriot dari tim sepak bola para kuli parit tambang, dan terutama ayahku. Mereka adalah olahragawan sejati pertama yang kukenal. Pertandingan terakhir Ayah memang hanya pertandingan antara sebelas kuli jajahan melawan sebelas ambtenaar Belanda, namun bagiku saat itu lapangan sepak bola adalah medan perang di mana pribumi menggempur penjajah. Saat itu adalah saat rakyat Indonesia melawan, saat tim nasional Indonesia―PSSI―menekuk tim nasional Belanda. Itulah makna teriakan Indonesia! Indonesia! Ayah itu.
Tak hanya pada ayahnya ia menemui “cinta tak bersyarat” itu. Jauh jauh hari setelah Ikal menemukan potret buram ayahnya, dan jauh jauh jarak pula dari kampung udiknya tempat jin buang anak―begitu Ikal menyebut kampung tercintanya―yaitu ketika ia mengadu nasib di Eropa, negerinya para pecinta bola, ia bertemu dengan seorang wanita Spanyol yang juga sangat mencintai sepak bola. Wanita itulah yang menyelamatkan impiannya untuk mendapatkan kaus bertanda tangan asli Luis Figo, pemain klub Real Madrid yang merupakan idola ayahnya. Adriana, begitu nama perempuan manis itu, menjawab saat Ikal menanyainya mengapa ia tergila-gila pada sepak bola, “begitu besar cinta, begitu singkat waktu, begitu besar kecewa, lalu tak ada hal selain menunggu pertandingan berikutnya, lalu bergembira lagi. Sepak bola adalah satu-satunya cinta yang tak bersyarat di dunia ini.” Cinta bagi kebanyakan perempuan adalah dedikasi dalam waktu yang lama, tuntutan yang tak ada habis-habisnya sepanjang hayat, dan semua pengorbanan itu tak jarang berakhir dengan kekecewaan yang besar, dan bagi Adriana, mencintai sepak bola adalah seluruh antitesis dari susahnya mencintai manusia, begitu yang disimpulkan Andrea setelah mendengar jawaban Adriana, jawaban yang mengubah pandangannya tentang perempuan-perempuan yang menggilai bola.

Betapa ajaib sepak bola. Olahraga ini seperti memiliki seribu wajah yang ditatap oleh seribu wajah pula. Di beberapa tempat dia bermetamorfosis menjadi semacam agama baru. Hasil temuanku soal perempuan dan sepak bola memang hanya bisa dipertanggungjawabkan sebagai hipotesis-hipotesis saja, masih perlu diusut lebih jauh. Namun, sampai di sini aku merasa bahwa sepak bola bukanlah sekadar dua puluh dua lelaki ganteng kurang kerjaan, berlari lintang pukang, bertumburan tak keruan, demi memperebutkan sebuah bola.
Demikianlah lelaki asli Belitong ini menggambarkan sepak bola, tak hanya melulu soal lapangan hijau dan papan skor, tak juga hanya tentang gol-gol indah dan peluit wasit. Tak hanya tentang semangat juang dari para pemain untuk meraih kemenangan, namun juga semangat juang dari pendukung setia tim sepak bola. Ia memandangnya dari berbagai sisi. Andrea sendiripun pernah berjuang keras demi mewujudkan mimpi ayahnya yang kandas, meski gagal dan menyakitkan baginya. Dan meski begitu ia tak membenci sepak bola. Karena baginya sepak bola adalah semacam cinta pertamanya―seperti mengutip kata-kata Adriana, cinta tak bersyarat.

Novel ini sendiri, Sebelas Patriot, merupakan suatu karya yang unik. Bersamaan dengan penggarapan novel ini, Andrea juga  menciptakan lirik dan aransemen musik tiga buah lagu berjudul “PSSI Aku Datang”, “Sebelas Patriot”, dan “Sorak Indonesia”. Novel dan lagu-lagu tersebut adalah satu kesatuan karya. Lagu-lagu itu didesain untuk dinyanyikan bersama-sama, lagu tentang semangat, lagu untuk para suporter, demi meletupkan gelora cinta pada Indonesia, demi mendukung PSSI dan tim olahraga Indonesia saat bertarung.

Indonesia aku datang! PSSI, engkau menang!