Dahlan Iskan, Kami Titip Harap

Oleh: Moh. Samsul Arifin


Senyummu itu lho, bikin aku tertambat dan jatuh. Susah sungguh mencari orang yang tulus dan tanpa pamrih sepertimu di negeri yang tenggelam dengan korupsi ini. Sebuah negeri yang banyak pejabatnya menggenggam amanah bak memegang bara api.

Negeri yang dihuni politisi yang terjun di arena dengan harapan menangkap peluang ekonomi, lalu memburunya demi segunung rupiah. Lalu, hidup bermewah-mewah dengan jabatan publik di tangan (entah itu di parlemen atau institusi pemerintah dari atas ke bawah, dari pusat ke daerah).
Negeri yang petani, nelayan, atau kalangan buruhnya harus sanggup sendirian merampungkan masalah ekonomi yang membelitnya – tanpa pemerintah atau aparatur yang membantu.
Negeri yang memberikan pasarnya seluas-luasnya untuk kepentingan kapitalisme global, dimasuki selaksa perusahaan multinasional, tetapi riang saja tanpa merasa terusik.
Negeri yang dibanjiri hasil produksi pertanian dari negara-negara asing, wabilkhusus Tiongkok. Negeri yang dengan jemawa merasa nyaman dengan ekonomi pasar bebas. Yang kerap menjual aset-aset penting kepada perusahaan asing, termasuk yang sekarang berada di bawah kendalimu, BUMN.
Negeri yang kian disesaki puluhan juta kaum miskin di pedesaan dan perkotaan. Yang standar hidupnya “Senin-Kamis”, bahkan tanpa papan karena harus menggelandang dari titik ke titik di metropolitan yang kian pongah dengan gedung-gedung beton tegak menjulang tinggi.
Negeri yang makin tak mampu menjamin anak-anak bangsa bisa kuliah di perguruan tinggi (PT) lantaran biaya pendidikan makin tak terjangkau mayoritas masyarakat. Tapi, itu dia, pemerintah memberikan keleluasaan kepada PT untuk menjaring anak-anak dari keluarga mampu karena bisa membayar puluhan hingga ratusan juta rupiah. Pokoknya, si miskin hanya bisa berpangku tangan karena pendidikan hanya milik mereka yang memiliki sekarung harta.
Negeri yang kian lupa dengan tujuan nasionalnya sebagaimana dipahat para bapak bangsa di pembukaan UUD 1945, lalu dijabarkan dalam pasal-pasal yang telah diamandemen beberapa kali. Negeri yang makin kehilangan pegangan, kehilangan kebanggaan – bahkan kebanggaan kecil, seperti tak mampu nomor satu di pentas sukan se-Asia Tenggara (SEA Games).
Negeri yang makin tak punya identitas. Bahkan, untuk urusan busana saja, kita makin disetir sesuatu yang berada diluar sana. Negeri yang pejabatnya, kelas menengahnya, hingga masyarakatnya di banyak lapisan terseret arus konsumerisme –serta karena itu mulai kehilangan tekad dan kemampuan melakoni hidup sederhana.
Oh ya... ini sudah pasti dan jelas: negeri yang makin kekurangan sosok untuk diteladani. Bahkan, pemimpin nasional di level tertinggi –dan dia adalah simbol negara – tak punya leadership: peragu total, kerap bermanis-manis, serta “suka bersolek” demi citra populer yang tak kekal dan banal. Si pemimpin itu tak serius ingin memberikan warisan apa buat negeri sehingga dia menorehkan namanya untuk dicatat anak bangsa di masa mendatang. Bukan lagu demi lagu yang tak perlu itu yang dikehendaki, melainkan sebuah tugu berisi nilai atau tonggak-tonggak penting yang bermanfaat buat perjalanan negeri. Kalau tidak seperti Bung Karno atau Soeharto, minimal ya meniru Abdurrahman Wahid, yang bisa tegas kepada negeri jiran Malaysia jika sudah berurusan dengan kedaulatan.
***
Kehadiranmu di Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, tak bisa tidak, harus kami anggap sebagai setitik debu di gurun pasir yang membentang luas. Tapi, paling tidak di kementerianmu yang superpenting, BUMN, kami boleh memberikan sepotong kepercayaan. Taburilah kementerian itu dengan visi, etos, dan kerja keras.
Garisnya sudah pasti. Bersih dari korupsi, bersih dari kepentingan partai politik, dan bersih dari kepentingan bisnis siapa pun –termasuk perahu-perahu bisnis yang dinahkodai, tentu.
Sasarannya jelas nian. Bawa BUMN punya pendapatan memadai, kalau tidak terbang ya setidaknya meningkat jika dibandingkan dengan periode menteri-menteri yang sudah-sudah.
Aku kutip data yang dihimpun Andi Arief, salah seorang staf presiden (Rakyat Merdeka Online, 18/10) berikut. Katanya, kinerja BUMN masih tertatih. Dengan total aset Rp 2.234 triliun, seluruh BUMN kita hanya mencetak pendapatan Rp 986 triliun atau 44 persen dari total aset. Laba bersih seluruh BUMN hanya Rp 88 triliun atau 3,9 persen dari total aset.
Bandingkan dengan Petronas Malaysia yang mencetak pendapatan 68 persen dari total asetnya. Petronas pun meraup laba bersih Rp 148 triliun. Satu Petronas lho, yang dulu belajar dari Pertamina, lawan berapa banyak BUMN di negeri kita?
***
Kesahajaan memancar dari senyummu yang lepas dan tandas itu. Kesederhanaan terbit dari caramu menggunakan sepatu kets atau tetap menggulung lengan kemeja panjangmu. Itu gayamu. Itu mungkin meringkas sebagian dirimu. Jadi, kau tak takut-takut untuk tetap menggunakan sepatu kesukaanmu itu saat dilantik di istana.
Aku yakin, kamu tidak sedang sok nyentrik, aneh-aneh demi membetot perhatian atau menyedot publikasi media massa. Superyakin aku bilang itu caramu untuk selalu menjadi dirimu. Dahlan Iskan ya begitu..., tak pernah ingin menjadi badut demi menyenangkan orang banyak atau semata tunduk terhadap kebiasaan umum di kabinet.
Oh ya, katanya, kamu juga ogah diberi ucapan selamat saat presiden mengumumkan nama dirimu sebagai menteri BUMN, entah itu oleh karyawan PLN atau wartawan. Mungkin, kau diam-diam hendak bilang kepada bangsa ini: Tak usahlah riang dengan jabatan karena itu amanah yang harus ditunaikan dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Juga saat berbicara di depan pers setelah ditunjuk presiden menjadi menteri BUMN, kau meneguhkan itu semua dengan menitikkan air mata. Setelah dilantik, kau juga menolak fasilitas untuk menteri karena nikmat yang diberikan Tuhan sudah kau anggap cukup.
***
Aku tidak sedang memujimu setinggi langit –apalagi mendewakanmu dengan menulis ini. Semua adalah sebentuk rasa syukur karena masih ada orang sepertimu. Satu yang kuminta darimu: Bekerjalah sepenuh jiwa seperti kemarin-kemarin itu. Kau pun tahu kepada siapa kau harus mempertanggungjawabkan kerjamu nanti. Si tuan itu bukanlah tuan sesungguhnya. Sebab, yang “paling tuan” adalah rakyat yang jumlahnya lebih dari 230 juta jiwa tersebut. Jika landasan etis bagi seluruh wartawan adalah publik, publik, dan publik, landasan etis bagi kerjamu saat ini adalah rakyat, rakyat, dan rakyat! (*)

*) Jurnalis, penulis artikel di berbagai media

0 comments:

Posting Komentar

 

My Tweeeeet