:')

Sabtu, 14 April 2012. Malam ini mungkin menjadi puncak dari depresiku yang selama ini tertahan dan terpendam. Tak tertahankan lagi, aku menangis. Ya, menangis di kantor LPM Dimensi. Hilal yang memergokiku pertama kali. Lalu yang lain bertanya-tanya aku kenapa. Aku bingung mau menjelaskan darimana. Aku berusaha menenangkan diri. Berhasil. Namun hanya sebentar. Lalu sesenggukan lagi dan Mas Dwi menghampiri. Dia bertanya apa masalahku dan aku malah menjawab, “Ngga usah dibuat-buat perhatiannya.” Namun ia kukuh bertanya dan akhirnya aku luluh. Perlahan aku ceritakan apa yang kualami.
Malam itu tumpukan tekanan dalam hati dan otakku membuncah. Tekanan dari organisasi yang sebenarnya amat kusayangi. HMI. Himpunan Mahasiswa Islam, yang mulai kumasuki sejak setahun yang lalu. Aku mengetahui organisasi ini dari bapak semenjak aku di SMA. Dahulu Bapak memintaku, setelah menjadi mahasiswa nanti agar aku bergabung dengan HMI. Bapak bukan orang HMI, melainkan Kesgoro (aku lupa kepanjangannya). Aku dapat mengerti keinginan Bapak tersebut. Pada masanya, HMI merupakan organisasi kepemudaan terkuat dan amat besar pengaruhnya dalam dunia pergerakan mahasiswa. Aku yang mengidolakan Gie (pada saat itu) tentu berniat mengabulkan permintaan Bapak tersebut, karena daya tarikku terhadap dunia pergerakan mahasiswa.
Perkenalanku lebih lanjut dengan HMI, aku mulai ketika berkuliah di Jogja. Seorang kawan sesama anak semarang tak sengaja mengajakku ke kontrakannya setelah menonton pameran foto oleh UFO, dan ternyata kontrakan tersebut merupakan komisariat fakultas (kehutanan). Sebelumnya aku tak tahu kalau kawanku itu adalah anak HMI.
Namun jalanku dibelokkan. Aku terpaksa pindah studi ke semarang, ke sebuah politeknik negeri dan mengambil jurusan teknik mesin. Aku mencari-cari info tentang keberadaan HMI di semarang. Sulit sekali. Lalu kawanku yang anak jogja tadi mengenalkanku pada Mas Mustofa, Ketua umum cabang semarang saat itu. Setelah beberapa waktu, aku mengikuti basic training yang diadakan oleh komisariat undip raya. Saat itu entah kenapa perasaanku tak enak, seperti tertekan oleh keadaan. Rosihan Azwar mendapatiku menangis, hanya ia. Suasana disini amat berbeda dengan suasana di sleman. Aku tak mendapatkan “rasa” yang kuinginkan. Namun aku tetap bertahan. Dengan doktrin pada diri sendiri bahwa aku akan kuat.
Seiring waktu semakin aku merasa tak nyaman. Entah kenapa. Dan lagi-lagi aku kuatkan diri. Terutama saat aku diamanahi untuk menjadi sekretaris umum. Bimbang mau menerima atau tidak. Bila menerima, aku harus siap mentotalkan diri pada organisasi ini, padahal aku juga berencana untuk mentotalkan diri di dimensi. Namun bila tidak menerima, aku berpikir, siapa lagi yang akan diletakkan pada jabatan ini. Komisariatku beranggotakan sepuluh orang lebih, namun yang aktif tak lebih dari lima. Aku menguatkan diri lagi dan berkata iya.
Berharap pilihanku tak salah, aku mulai menyusun program kerja dan rencana setahun kedepan. Pelan tapi pasti aku belajar untuk menguatkan diri dan mengabaikan suara hati yang menolak keputusanku.
Namun semakin lama semakin tak mudah rupanya. Aku menganggap ini mungkin cobaan, ujian, yang biasanya mampu aku lewati meski tak mudah. Ketua umumku ternyata tak mampu mentotalkan diri. Aku yang pada awalnya berniat mentotalkan diri, perlahan kendor juga, ditambah aktivitas perkuliahanku yang mulai menggila.
Aku menata diri kembali, mencari-cari penyuluh semangat. Sampai aku rela menempuh jarak Semarang-Jogja-Semarang dalam satu malam, demi mengejar materi KM (Keyakinan Muslim) pada Batra yang diadakan Komisariat Fakultas Kehutanan di Ponpes Lintang Songo di Bantul. Saat mengikuti Batra dulu aku kelewatan materi KM karena ada ujian yang tak bisa kutinggalkan. Aku merasa kurangnya keteguhanku dalam ber-HMI selama ini salah satunya karena materi dasarku belum kuat.
Sempat menguat, namun mengendor lagi. Hingga semua berujung pada satu kesimpulan: aku tak kuat. Hatiku menolak, pun ragaku yang sakit ketika memikirkan hal ini.
Dan malam ini semuanya meluber, menjelma menjadi air mata. Maaf untuk semua kawan yang dengan terpaksa aku kecewakan, maaf untuk amanah yang tak bisa kuemban, maaf untuk bapak yang pintanya hanya sebentar kulaksanakan. Aku berjanji aku tak akan berhenti bergerak dan mempertahankan idealisme meski bukan dalam wadah pergerakan Islam. Aku tetap Islam sampai mati meski tak lagi ber-HMI. Aku tetap yakin usaha sampai meski tak melalui jalan ini lagi. 

2 comments:

 

My Tweeeeet