22 April 2012. Hari bumi, begitu
orang-orang menyebutnya. Hari bumi pada awalnya diadakan sebagai bentuk
peringatan betapa pentingnya bumi dalam kehidupan kita, dan sebagai peringatan
akan kejahatan-kejahatan manusia terhadap tempat tinggalnya sendiri. Ya, tak
berlebihan rasanya bila saya sebut itu kejahatan. Penjarahan besar-besaran dan
tanpa mengenal ampun telah dilakukan manusia-manusia bumi demi memenuhi
kebutuhan sesaat. Bodohnya lagi, penjarahan dilakukan di tempat tinggalnya
sendiri.
Mengatasnamakan pertumbuhan
ekonomi dan kebutuhan umat manusia, lingkungan menjadi tumbal. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa Indonesia yang dulunya dikenal sebagai paru-paru dunia, kini
tak ada apa-apanya. Hutan merupakan salah satu identitas Indonesia yang membuat
iri banyak negara maju. Perampokan lingkungan besar-besaran terjadi bermula
sejak era orde baru. Disitu, ribuan hektar hutan dialihfungsikan menjadi
tambang uang. Bukan untuk rakyat, bukan untuk pembangunan, namun untuk kalangan
elit tertentu. Dan hingga kini, penjarahan dan alih fungsi hutan masih belum
teratasi. Sekali lagi, demi pertumbuhan ekonomi.
Sedih setelah membaca data
kerusakan hutan sejak orde baru, timbul pertanyaan dari diri saya. Setiap
tahunnya Indonesia meluluskan ratusan sarjana kehutanan (terbersit pikiran
tentang sarjana kehutanan karena salah seorang kawan menjadi panitia wisuda
sarjana kehutanan pada saat itu), namun masalah kehutanan di Indonesia belum
juga teratasi. Tanpa pikir panjang, saya ketik sms “mas aku mau tanya, tiap
tahunnya Indonesia nglulusin ratusan sarjana kehutanan, tapi kenapa kerusakan
hutan masih blm teratasi?”, lalu saya kirim ke beberapa teman calon sarjana
kehutanan.
Dari empat orang yang saya
tanyai, satu orang tidak menjawab. Beginilah percakapannya:
Jawaban pertama: “Hmm.. Karena
tiap tahunnya lulusan sarjana teknik, pertambangan, mesin, pwk, dll. lebih
banyak daripada sarjana kehutanan..”
Dari jawaban itu saya membalas
dengan nada guyonan, “Jadi kekurangan
sarjana kehutanan nih ceritanya?”
Dan ia menjawab lagi, “Bukannya
kekurangan sarjana kehutanan. Tapi telah terjadi ketidakseimbangan lulusan
sarjana. Seperti layaknya telah terjadi ketidakseimbangan alam sehingga
berakibat pada bencana alam.”
Jawaban tersebut cukup memuaskan
saya. Saya pikir ada benarnya juga. Jumlah lulusan kehutanan maupun pertanian
masih kalah banyak dibanding dengan lulusan teknik, kedokteran, ekonomi, dan
sebagainya.
Nah, jawaban yang kedua ini
menarik, karena kontras dengan jawaban dari kawan pertama tadi.
“Semakin banyak sarjana kehutanan
itu dianalogikan dengan semakin banyak masalah yang ditimbulkan. Tergantung
dari sisi negatif atau positif..”
Saya enggan melanjutkan
pembicaraan meski tertarik sekali dengan jawabannya. Maklum, tak begitu kenal
dengan orang tersebut.
Percakapan ketiga cukup panjang.
Lebih panjang dari yang pertama apalagi kedua.
“Kehutanan berhubungan erat sama
sektor lain. Jeleknya, kita kalah dalam bargain position melawan mereka,
alasannya kita negara development. Lulusan kehutanan bisa dianggap sukses
meredam laju kerusakan hutan. Bisa dibayangkan kehutanan tidak dikelola sama
orang kehutanan..” (Memang, setahu saya, Indonesia hanya sekali memiliki
menteri kehutanan dari orang kehutanan, yaitu Mohamad Prakosa pada masa
kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid)
Saya: “Lhah kenapa ga dikelola
aja sama orang kehutanan?” Pertanyaan retoris sebenarnya. “Pengelola itu memang
orang kehutanan, tapi bos pengelolanya (baca: pengusaha) sebagian besar orang
ekonomi (nyari untung tok).
Sisteme kita itu, manut pak bos.
Nah kalo di negara maju biasanya regulasi bisa ngalahin pengusaha. Kita tau
sendiri regulasi negara ini.”
Kawan ketiga itu juga
menambahkan, bahwa mereka sering mengundang pak menteri datang ke Yogya untuk
berdiskusi dengan tema yang bervariasi. Namun sayang, diskusi-diskusi tersebut
minim follow up padahal ada puluhan tema yang dibahas selama tiga tahun
terakhir ini.
Entah apa yang ada di otak para
pembalak selain uang dan uang. Tak sampai limapuluh tahun lagi mungkin
Indonesia sudah tak memiliki hutan apabila laju deforestasi tak distop.
Moratorium pun hanya sebatas wacana. Deforestasi, perlahan tapi pasti,
menggerogoti jantung-jantung kehidupan Indonesia dimana ribuan spesies terdapat
didalamnya, dimana air ditangkap dan disimpan, dimana oksigen penyambung hidup
kita dihasilkan, dimana beragam etnis dari suku pedalaman Indonesia
menggantungkan hidupnya, dimana semua yang identik dengan Indonesia berasal
darinya.
Saya tak rela hutan-hutan
digantikan oleh perkebunan sawit yang monoton dan membosankan. Saya juga tak
rela alat-alat berat dengan rakusnya mengeruk tanah terbaik hutan demi
batubara. Untuk teman-teman calon sarjana kehutanan, saya hanya bisa berdoa
supaya mereka dapat segera membenahi hutan. Dan saya sebagai seorang calon
lulusan teknik akan berusaha untuk mengurangi penggunaan batubara. Entah
terdengar sebagai khayalan tingkat tinggi atau apa, yang saya tahu saya menulis
semua ini karena saya sayang bumi, bumi Indonesia. Sangat sayang.
0 comments:
Posting Komentar