Tak banyak generasi
muda kini yang mengenal Norman Edwin, si beruang gunung yang telah mengibarkan
nama Indonesia di puncak-puncak dunia.
MEMBACA “Jejak Sang Beruang Gunung” karya Ganezh adalah
membaca petualangan. Kita seolah dikenalkan pada sosok Norman Edwin dan diajak
mengikuti perjalanan hidupnya.
Norman Edwin (1955-1992) dikenal sebagai pecinta alam dan
juga seorang wartawan. Laki-laki kelahiran Palembang, 19 Januari 1955 ini
adalah eks mahasiswa Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Di kampus ini pula ia menjadi anggota Mapala UI yang hingga kini terkenal
sebagai kelompok mahasiswa pecinta alam yang tangguh.
Lewat buku yang diterbitkan pada 2006 ini, Ganezh
menceritakan kehidupan seorang Norman Edwin, mulai dari masa kecilnya hingga
ketika ia ditemukan tewas di Aconcagua, gunung dengan puncak tertinggi di
Amerika Selatan.
Norman Edwin mengenal dan mencintai alam sejak masih sangat
muda. Bakat menulisnya pun juga sudah tampak saat masih kecil. Di kemudian
hari, ia benar-benar menjadi petualang sejati sekaligus wartawan yang tangguh. Norman
pernah bekerja untuk tabloid Mutiara dan menulis untuk beberapa koran.
Kedua perpaduan itulah yang menjadikan Norman mampu membagi
petualangannya lewat tulisan dan dokumentasi. Lewat itu pula, Norman secara
tidak langsung mengajak generasi muda untuk mencintai alam dan menjajal
kegiatan di alam liar.
Ketangguhan Norman tak diragukan lagi. Berbagai gunung
dengan medan yang bervariasi telah ia daki. Sungai-sungai dengan jeram telah ia
susuri. Meski berkali-kali berhadapan dengan maut, ia seolah tak ingin takluk.
Puncak-puncak yang berhasil digapainya antara lain Puncak
Cartensz Pyramid (Irian Jaya), Puncak McKinley (Alaska), dan Puncak Kilimanjaro
(Afrika). Puncak-puncak itu merupakan bagian dari “The Seven Summits”, tujuh
puncak tertinggi dari tujuh benua. Seven
summits merupakan impian dari hampir setiap pendaki di seluruh dunia.
Hingga akhirnya, lelaki yang sering disebut “beruang gunung”
itu menghembuskan nafas terakhirnya di ketinggian 6700 meter di Aconcagua. Jenazahnya
ditemukan diantara salju pada 2 April 1992. Obsesinya untuk mengibarkan panji
Mapala UI dan bendera merah putih di Puncak Aconcagua tertahan oleh ganasnya
alam Pegunungan Andes. Ia meninggalkan seorang istri, Karina Arifin, dan
Melati, putrinya yang masih berusia tujuh tahun saat itu.
Bagi saya meninggalnya Norman Edwin dan Didiek Samsu di
Aconcagua bukan merupakan peristiwa naas, seperti perginya Soe Hok Gie dan
Idhan Lubis di Semeru (1967).
Kematian mereka bahkan menandakan bahwa mereka memang
manusia tangguh yang tak pantas mati di tempat tidur. Mereka pergi dalam
keadaan sebagai petualang, diantar oleh angin gunung yang begitu keras namun
sangat mereka cintai.[]
Sampai sekarang aku belum punya buku ini :(
BalasHapusPetualang sejati.... Norman edwin
BalasHapus