Hidup di negeri yang
penuh korupsi dan suap menyuap memang memuakkan. Saking seringnya ditemui kasus
seperti itu, hal tersebut seolah sudah menjadi pemakluman dan perlahan
membudaya. Gencarnya hukum yang diberlakukan untuk memberantas nyatanya tak
cukup. Karena disini, hukum pun bisa dibeli.
Okky Madasari mencoba
menyusun sebuah cerita tentang satu tokoh perempuan yang dikungkung lingkaran
setan tersebut. Melalui pengalamannya sebagai wartawati bidang hukum dan
korupsi, Okky mengisahkan Arimbi, seorang perempuan muda yang bekerja di kantor
pengadilan di Jakarta.
Arimbi adalah gadis
polos kelahiran Ponorogo yang mengenyam pendidikan di sebuah universitas swasta
di Solo. Setamat kuliah, ia menjalani tes untuk menjadi pegawai negeri di
kantor pengadilan Jakarta. Lolosnya ia dalam tes itu menjadi awal kehidupan
baru Arimbi. Meninggalkan kehidupan Solo yang sepi, ia masuk dalam hiruk
pikuknya Jakarta.
Meski hanya menjadi
juru ketik, cerita penuh nada bangga tak pernah berhenti mengalir dari kedua
orangtua Arimbi di desa kepada orang-orang. Betapa anak mereka kini telah
menjadi pegawai negeri, menjadi orang kantoran yang tak perlu berkotor-kotor
dengan tanah atau pupuk seperti mereka, dan yang paling penting, menerima gaji
setiap bulan. Bapak dan Ibunya tak pernah melihat bagaimana kehidupan Arimbi
yang sebenarnya di Jakarta. Dengan gaji pas-pasan, anak gadis mereka tinggal di
rumah kontrakan di kawasan kumuh dan berusaha menghemat setiap pengeluaran.
Keadaan itu mulai
berubah ketika pada suatu Sabtu siang yang gerah, seseorang mengetuk pintu
kontrakan Arimbi. Yang datang adalah seorang kurir, membawa sebuah air conditioner baru yang memang
ditujukan untuk Arimbi. Arimbi tak pernah menyangka bahwa persidangan yang
diikutinya selama sebulan terakhir mengenai perkara tanah dapat berujung
kiriman barang mahal seperti ini.
Arimbi pun mulai
“belajar”. Sebelumnya ia tak mengetahui apapun tentang pekerjaannya kecuali apa
yang ditugaskan oleh atasannya. Ia selalu berusaha sebaik mungkin dalam
mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Bu Danti, bosnya, dan menjalani
kehidupan yang rutin dan biasa-biasa saja. Arimbi belum tahu kalau pekerjaan
yang ia lakukan, meski hanya menyalin dan mengetik, adalah lahan basah yang
memberi Arimbi kesempatan untuk mencari uang tambahan. Melalui perkenalannya
dengan pengacara-pengacara, ia mulai terbiasa dengan istilah “delapan enam”
yang berarti “tahu sama tahu”.
Setelah menikah,
suaminya malah mendukung Arimbi untuk lebih giat mencari penghasilan tambahan
melalui cara-cara yang tidak benar namun sudah biasa tersebut. Hingga pada
suatu hari, Arimbi terpergok petugas Komisi Pemberantasan Korupsi sedang berada
di rumah Bu Danti setelah mejadi kurir uang sogokan dari dua pengacara yang
akan ditangani berkasnya. Alih-alih menikmati masa-masa awal pernikahannya,
Arimbi harus meringkuk dalam dinginnya sel.
Namun penjara tak
mengubahnya. Sogokan sudah menjadi hal lumrah dan malah diharuskan. Bahkan tak
hanya sogokan, Arimbi merambah dunia narkotika demi mendapat uang untuk biaya
pengobatan ibunya. Bahkan setelah Arimbi bebas dan ibunya meninggal, ia dan
suaminya masih menggantungkan hidup dari hasil penjualan narkoba. Ada kalanya
Arimbi merasa berdosa dan ingin menyudahi semua. Tuntutan hidup seolah
memaksanya untuk mengabaikan nurani dan meyakinkannya bahwa semua akan
baik-baik saja.
Novel yang didasarkan
pada realita ini menyampaikan cerita yang biasa, dikemas secara menarik namun
dengan alur yang mudah ditebak. Meski begitu, kepiawaian Okky dalam bercerita
membuat novel ini tak membosankan dan selalu ingin diikuti. Melalui novel ini
pula Okky menyampaikan pada kita bahwa istilah 86 dipakai hampir di semua lini
birokrasi kita, dari pengadilan hingga pengurusan surat nikah. Asal ada uang,
semua beres! []
0 comments:
Posting Komentar