Cincai, cincai, beres!


Hidup di negeri yang penuh korupsi dan suap menyuap memang memuakkan. Saking seringnya ditemui kasus seperti itu, hal tersebut seolah sudah menjadi pemakluman dan perlahan membudaya. Gencarnya hukum yang diberlakukan untuk memberantas nyatanya tak cukup. Karena disini, hukum pun bisa dibeli.
Okky Madasari mencoba menyusun sebuah cerita tentang satu tokoh perempuan yang dikungkung lingkaran setan tersebut. Melalui pengalamannya sebagai wartawati bidang hukum dan korupsi, Okky mengisahkan Arimbi, seorang perempuan muda yang bekerja di kantor pengadilan di Jakarta.
Arimbi adalah gadis polos kelahiran Ponorogo yang mengenyam pendidikan di sebuah universitas swasta di Solo. Setamat kuliah, ia menjalani tes untuk menjadi pegawai negeri di kantor pengadilan Jakarta. Lolosnya ia dalam tes itu menjadi awal kehidupan baru Arimbi. Meninggalkan kehidupan Solo yang sepi, ia masuk dalam hiruk pikuknya Jakarta.
Meski hanya menjadi juru ketik, cerita penuh nada bangga tak pernah berhenti mengalir dari kedua orangtua Arimbi di desa kepada orang-orang. Betapa anak mereka kini telah menjadi pegawai negeri, menjadi orang kantoran yang tak perlu berkotor-kotor dengan tanah atau pupuk seperti mereka, dan yang paling penting, menerima gaji setiap bulan. Bapak dan Ibunya tak pernah melihat bagaimana kehidupan Arimbi yang sebenarnya di Jakarta. Dengan gaji pas-pasan, anak gadis mereka tinggal di rumah kontrakan di kawasan kumuh dan berusaha menghemat setiap pengeluaran.
Keadaan itu mulai berubah ketika pada suatu Sabtu siang yang gerah, seseorang mengetuk pintu kontrakan Arimbi. Yang datang adalah seorang kurir, membawa sebuah air conditioner baru yang memang ditujukan untuk Arimbi. Arimbi tak pernah menyangka bahwa persidangan yang diikutinya selama sebulan terakhir mengenai perkara tanah dapat berujung kiriman barang mahal seperti ini.
Arimbi pun mulai “belajar”. Sebelumnya ia tak mengetahui apapun tentang pekerjaannya kecuali apa yang ditugaskan oleh atasannya. Ia selalu berusaha sebaik mungkin dalam mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Bu Danti, bosnya, dan menjalani kehidupan yang rutin dan biasa-biasa saja. Arimbi belum tahu kalau pekerjaan yang ia lakukan, meski hanya menyalin dan mengetik, adalah lahan basah yang memberi Arimbi kesempatan untuk mencari uang tambahan. Melalui perkenalannya dengan pengacara-pengacara, ia mulai terbiasa dengan istilah “delapan enam” yang berarti “tahu sama tahu”.
Setelah menikah, suaminya malah mendukung Arimbi untuk lebih giat mencari penghasilan tambahan melalui cara-cara yang tidak benar namun sudah biasa tersebut. Hingga pada suatu hari, Arimbi terpergok petugas Komisi Pemberantasan Korupsi sedang berada di rumah Bu Danti setelah mejadi kurir uang sogokan dari dua pengacara yang akan ditangani berkasnya. Alih-alih menikmati masa-masa awal pernikahannya, Arimbi harus meringkuk dalam dinginnya sel.
Namun penjara tak mengubahnya. Sogokan sudah menjadi hal lumrah dan malah diharuskan. Bahkan tak hanya sogokan, Arimbi merambah dunia narkotika demi mendapat uang untuk biaya pengobatan ibunya. Bahkan setelah Arimbi bebas dan ibunya meninggal, ia dan suaminya masih menggantungkan hidup dari hasil penjualan narkoba. Ada kalanya Arimbi merasa berdosa dan ingin menyudahi semua. Tuntutan hidup seolah memaksanya untuk mengabaikan nurani dan meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.
Novel yang didasarkan pada realita ini menyampaikan cerita yang biasa, dikemas secara menarik namun dengan alur yang mudah ditebak. Meski begitu, kepiawaian Okky dalam bercerita membuat novel ini tak membosankan dan selalu ingin diikuti. Melalui novel ini pula Okky menyampaikan pada kita bahwa istilah 86 dipakai hampir di semua lini birokrasi kita, dari pengadilan hingga pengurusan surat nikah. Asal ada uang, semua beres! []



0 comments:

Posting Komentar

 

My Tweeeeet