Evolusi Kopi: Awalnya Adalah Tentang
Cita Rasa
Oleh: Bela Jannahti
“Nantinya
semua kembali ke siapa yang akan meminumnya,” ungkap Adi W. Taroepratjeka, ahli
Kopi.
PAGI itu, Sabtu (29/6), jarum
pendek di arloji saya belum mencapai angka sepuluh. Saya berhasil tiba di
Kampus Binus Senayan lebih awal dari waktu yang telah ditentukan. Pada pukul
sepuluh pagi itu diadakan kelas praktik untuk penggalian ide bagi peserta
klinik menulis angkatan kelima yang diadakan oleh Tempo Institute. Kelas praktik
kali itu menghadirkan seorang ahli kopi.
Di lorong lantai dua, telah tertata
dengan rapi meja dan kursi. Sudah ada empat orang yang hadir disana. Joanna, sesama
peserta klinik menulis, Bram, fasilitator klinik menulis, serta dua orang lagi
– satu perempuan dan satu laki-laki yang belum saya kenali.
Meski sibuk menata peralatan,
laki-laki dan perempuan itu menyempatkan diri untuk menyapa saya yang baru
datang. Belakangan saya tahu, mereka adalah Adi W. Taroepratjeka, sang ahli
kopi, dan istrinya, Mia Laksmi.
Saya tertegun melihat berbagai
peralatan yang sedang mereka tata. Saya tahu itu adalah alat-alat yang akan
digunakan untuk membuat kopi, namun tidak tahu apa saja namanya dan bagaimana
alat-alat itu bekerja. Bagi saya yang selama ini hanya menjadi penikmat kopi –
bukan pencinta kopi – alat-alat itu masih asing. Selama ini saya hanya membikin
kopi cukup dengan air panas, cangkir, dan sendok.
Rupanya, metode meracik kopi
semakin hari semakin berkembang, berevolusi. Jika dulu kopi hanya diseduh atau
direbus dengan air untuk membuatnya menjadi secangkir minuman, kini ada
bermacam-macam cara untuk menghidangkannya. Tak hanya cara atau metodenya,
peralatannya pun semakin beragam, mulai dari yang sederhana hingga yang berteknologi
tinggi.
Sebelum tahun 1529, kopi masih
disajikan dengan cara diseduh atau direbus bersamaan dengan air. Hasilnya
berupa minuman yang pahit dan hitam. Sekitar tahun 1529, di Eropa muncul tren
untuk menyajikan kopi dengan menambah krim dan pemanis.
Adalah Franz Georg Kolschitzky dari
Vienna yang pertama kali memperkenalkan ide untuk menyaring kopi dan
meningkatkan cita rasa kopi dengan menambah susu dan gula. Sejak tahun itu pula
kedai-kedai kopi di Eropa mulai bermunculan.
Seiring dengan semakin menyebarnya
biji kopi ke seluruh dunia, teknik meracik kopi semakin hari juga semakin
berkembang. Sekitar tahun 1710, proses penyeduhan infusi muncul di Perancis.
Proses ini dilakukan dengan memasukkan bubuk kopi di suatu kantong linen yang
disebut biggin, kemudian kantong
ditutup kawat renggang dan direndam dalam air di dalam teko. Infusi, atau
perembesan, akan terjadi sehingga jadilah minuman kopi.
Di Perancis pula, satu abad
kemudian, yaitu pada tahun 1822, prototip mesin espresso dibuat. Espresso
adalah racikan kopi sederhana tanpa tambahan, kecuali – terkadang – ditambah
gula. Penemuan mesin ini menjadi pionir penemuan mesin coffee maker di tahun-tahun selanjutnya, terutama di abad ke-20.
Perlahan, kopi tak lagi menjadi
sekadar minuman. Kopi telah menjadi semacam budaya. Semakin hari kopi
berevolusi mengikuti alur keinginan manusia yang semakin bervariasi seleranya.
Hal itu mungkin yang menyebabkan kopi menjadi substansi yang paling banyak
diriset. Tak mengherankan apabila kini ilmu tentang kopi berkembang pesat.
Karena perkembangan pengetahuan
akan kopi itu, kini perkara menghadirkan secangkir kopi menjadi tak sesederhana
dulu. Hingga air untuk membuatnya pun perlu diperhatikan. Ternyata tak
sembarang air bisa digunakan bila ingin membuat kopi yang sesuai dengan
keinginan kita. Semakin banyak mineral yang terkandung dalam air yang kita
gunakan, kita akan mendapatkan rasa kopi yang semakin kuat. Mineral membantu
proses pengeluaran esens-esens yang terkandung dalam kopi.
Itu baru satu faktor. Saat kelas
kopi kemarin, Adi mengenalkan berbagai faktor yang memengaruhi cita rasa kopi
dalam cangkir kita. Selain air, kita juga perlu memerhatikan suhu, halus atau
kasarnya bubuk kopi, dan waktu penyeduhan. Belum lagi perlakuan-perlakuan
terhadap biji kopi pasca panen atau saat kopi masih berbentuk buah. Banyak
sekali faktor yang berpengaruh terhadap rasa kopi. Apakah semua itu akan
menentukan enak atau tidaknya kopi yang kita minum? Ternyata tidak.
Saya setuju dengan Adi yang
berpendapat bahwa definisi “enak” itu tak sama buat setiap orang. Bisa saja
saya lebih menyukai minum kopi ketika suhunya tak terlalu panas. Namun bisa
juga orang lain menyukai minum kopi dalam keadaan panas. Kita bisa menyeduh
kopi sesuai dengan keinginan kita dan menghasilkan kopi yang enak menurut kita
sendiri. Ada berbagai teknik mulai dari penggilingan dan penyeduhan yang
menyebabkan cita rasa kopi tak sama.
“Kita, saya dan teman-teman kopi
itu sering berdebat, meributkan ini itu, yang nggak penting-penting. Tapi malah bikin kita lupa, siapa yang akan
meminumnya?” tutur Adi sembari menyeduh kopi yang akan dicicipi oleh para
peserta menggunakan teknik French-press.
Adanya diagram rasa, atau flavor wheel yang diakui secara
internasional, menurut Adi hanyalah sebagai jembatan atau penyamaan bahasa.
“Deskripsi mereka yang ada di negara empat musim tentang suatu rasa tentu beda
dengan deskripsi kita yang ada di negara dua musim.”
Semua teknologi dan metode dalam
meracik kopi yang semakin hari semakin berkembang memang ditujukan untuk
menciptakan suatu minuman berbahan dasar kopi yang sesuai dengan keinginan
manusia sebagai peminumnya.
“Nantinya semua akan kembali ke
siapa yang akan meminumnya,” tambah pria yang pernah mengasuh program Coffee Story di salah satu televisi
swasta ini. []
kopi itu pait, asam juga
BalasHapusah, hidup nggak lebih pahit dari kopi kok #eaa
Hapus