Ada seorang kawan yang menginginkan saya segera menikah.
Awalnya hanya kubalas dengan tawa. Kemudian kulanjutkan dengan, “Ya kalo kamu
maunya kayak gitu, doakan saja.”
Aku menjawab seperti itu bukan asal melontarkan jawaban dan
bukan pula bercanda. Kurasa memang hanya Tuhan lah yang memegang kehendak atas
jalan hidupku, termasuk urusan menikah. Maka dari itu doa terus diperlukan,
selain usaha tentu saja.
Temanku itu menjawab dengan jujur tanpa menutupi sesuatu.
“Aku jarang berdoa.”
Tanpa kutanya mengapa, ia menjelaskan. “Ngrasa nggak enak
aja, udah dikasih hidup kayak gini masih minta terus.”
Aku tak kaget mendengar jawaban seperti itu. Sebelumnya aku
juga memiliki kawan yang berpendapat seperti itu juga. Dulu, akupun juga
berpikir seperti itu.
Dulu, aku merasa Tuhan sangat baik, Tuhan Maha Tahu,
sehingga aku tak perlu bilang apa yang kumau, pasti Tuhan sudah tahu. Apapun
yang diberikan padaku, entah itu kegembiraan, rezeki, musibah, atau apapun itu,
pasti adalah hal yang terbaik untukku dan memang sudah seharusnya terjadi. Jadi
untuk apa lagi kita berdoa? Untuk apa lagi kita meminta? Toh semua sudah
digariskan dan kita tinggal menjalani dengan sebaik mungkin.
Aku bahkan tak tahu apa yang harus kuucapkan ketika Ayah
memintaku berdoa untuk adik kecilku yang telah terbaring di ruang ICU selama
dua minggu lebih. Ketika itu aku berpikir, aku sayang adikku. Semua orang
menyayanginya. Apakah aku ingin ia sembuh? Tentu aku sangat ingin. Tapi apakah
aku tega melihatnya terus-terusan menahan rasa sakit itu? Bukankah kalau ia
segera diambil, ia tak akan merasakan sakit itu lagi?
Begitu bingungnya aku yang ketika itu masih kelas satu SMP.
Kadang aku berpikir dosakah aku bila mendoakan ia segera diambil saja? Atau
jangan-jangan lebih berdosa diriku bila mendoakan agar ia tetap hidup?
Lalu kuputuskan untuk tidak berdoa dan menganggap apapun
yang terjadi, maka itu yang terbaik. Bukankah umur manusia telah tertulis dalam
masing-masing suratannya?
Dan tibalah hari itu. Hari dimana “yang terbaik” terjadi.
Adikku meninggal ketika bulan puasa dan aku menangisinya. Dalam hati pun aku
bertanya, apakah ini karena aku tak mendoakannya? Sedikit menyesal memang.
Apakah setelah kejadian itu aku mulai berdoa? Belum. Aku
lupa sejak kapan aku mulai berdoa.
Yang kuingat adalah mengapa aku mulai berdoa.
Justru bukan kejadian super buruk yang menimpaku yang
membuatku berdoa. Bukan juga patah hati kronis yang melelahkan dan menguras
pikiran. Dan bukan pula rezeki nomplok yang tiba-tiba mendatangiku bak durian
runtuh.
Itu semua karena hujan.
Iya, hujan kukira yang menyebabkan aku berdoa.
Entah kenapa, hujan selalu membuatku ingin berdoa.
Belakangan baru aku tahu kalau Islam memang menganjurkan pemeluknya untuk
berdoa ketika hujan turun.
Mungkin karena ketika hujan turun, seketika itu juga tumpah
kenangan-kenangan yang ada dalam kepalaku. Membuatku mengenang betapa yang
dulu-dulu itu menyenangkan, menyedihkan, menyakitkan, dan betapa semuanya
terjadi secara ajaib dan tak terduga.
Karena keajaiban-keajaiban yang kuingat itu, kemudian aku
mengingat siapa yang membuat keajaiban itu.
Pertemuan dengan orang tak terduga. Kelancaran ujian tanpa
persiapan sama sekali. Ongkos percetakan yang bisa turun drastis. Kawan-kawan
yang unik dan hebat. Jatuh cinta dengan orang yang salah. Pembaca blog yang
ternyata adalah kawannya kawanku. Dibuang ke ujung Indonesia dan bertemu dengan
orang-orang yang super ramah. Dan masih banyak lagi.
Semua keajaiban itu. Semua keberuntungan itu. Semua kesialan
itu. Tumpah bersama hujan yang turun. Membuatku menggumamkan satu kata,
“Tuhan.”
Lalu karena aku tak mau mengumpat hujan, aku berkata, “jadikanlah
hujan ini penuh berkah dan manfaat.”
Foila! Aku berdoa.
Setelah itu rasanya lebih menyenangkan ketimbang saat aku
memaki hujan yang membuatku kuyup atau tergelincir di jalan.
Setelahnya, aku mempelajari mengapa manusia harus berdoa. Yang
kupelajari masih sangat sedikit. Masih sangat sedikit sekali.
Tapi ada beberapa hal yang membuatku percaya pada doa.
Yang pertama, ternyata Tuhan sangat senang jika hamba Nya
berdoa dan meminta pada Nya. Aku sangat setuju pada hal ini. Bila kita meminta
pada Tuhan, berarti kita merendah kepada Nya, menunjukkan penghambaan kita dan
mengakui bahwa hanya kepada Tuhan lah kita meminta.
Yang kedua, kita tak hanya meminta untuk diri kita sendiri,
tapi kita bisa meminta untuk orang lain juga. Aku percaya, banyak sekali
hal-hal yang terjadi di luar kendali kita sebagai manusia. Bila itu berkenaan
dengan usaha, maka kita lah yang menentukan. Selebihnya adalah bukan kuasa
kita. Seperti perasaan manusia.
Ketika kita tak berdaya untuk membantu ketika melihat
pengemis atau orang-orang yang terkena bencana, kita bisa berdoa.
Yang ketiga, ini yang membuatku agak takut dan sedih
sebenarnya.
Tuhan menyikapi doa kita dengan 3 kemungkinan,
1.
Dikabulkan saat itu juga
2.
Dikabulkan tetapi ditunda
3.
Diganti dengan yang lebih baik
Yang menakutkan bagiku adalah yang nomer 3. Karena itu
berarti tak selamanya bila kita berdoa maka keinginan kita akan terkabul. Lalu
yang bisa kulakukan lagi-lagi adalah meminta, “Berilah aku kekuatan untuk
menerima apapun keputusanMu, karena aku tidak mengetahui apa yang Engkau
ketahui. Sedang Engkau mengetahui mana yang baik bagiku, mana yang tidak.”
Tapi kalau mau menyikapinya secara santai, ya kembali ke
pernyataan tadi, apa yang terjadi maka terjadilah. Dan yang perlu kita lakukan
hanyalah menerima.
Di lain waktu, aku berbincang dengan seorang kawan nun jauh
disana melalui surat elektronik dan kita juga membahas mengenai doa.
Kawanku itu, seorang bujang lapuk berusia 22 tahun, mengaku
iri pada mereka yang bisa dengan khusyuk berdoa. Ia melihat betapa nikmatnya
orang-orang yang menggumamkan sesuatu selepas solat sedangkan dirinya sendiri
tak tahu harus mengucap apa.
Sebelumnya, ia pernah bercerita bahwa ia tak pernah punya
keinginan. Awal mula doa adalah keinginan. Ia tak punya keinginan maka ia tidak
berdoa.
Pada suatu malam tanpa hujan di penghujung barat Pulau Jawa,
di sebuah balkon yang gelap, kami, aku dan dia dan kawan lain, pernah
bercengkerama tanpa keseriusan. Namun semua yang kami katakana berasal dari
hati masing-masing.
Si kawanku itu, bercerita bahwa saking tak punya keinginan,
kerap kali ia kesulitan saat diminta memilih.
“Bahkan kalau sekarang kamu tanya aku mau perempuan yang
seperti apa, mungkin baru bisa kujawab setelah aku menikah nanti,” begitu
tulisnya dalam surat elektronik.
Aku dibuat tertawa karenanya. Ia adalah kawan yang menurutku
hidupnya penuh kesialan sekaligus keberuntungan. Dia iri padaku yang memiliki
banyak keinginan sedangkan aku iri padanya yang tak punya keinginan.
Tapi dengan begitu aku bisa berdoa untuknya. Semoga ia lekas
bertemu jodoh yang ia nantikan. Pun aku. []
0 comments:
Posting Komentar