Angkot telah penuh ketika saya memasukinya. Tapi apa boleh buat. Ini sudah hampir pukul lima sore dan sesungguhnya saya merasa beruntung juga masih menemukan angkot dari Kediri yang menuju ke Pare.
Seorang kakek menyambut saya begitu saya masuk. Ramah, supel, tak tertebak usianya. Tapi tanpa diminta oleh siapapun, ia dengan senang hati menceritakan usianya yang sudah mencapai 93 tahun itu.
Para orang tua, atau mereka yang sudah merasa tua, memang lebih senang menceritakan masa lalu. Seharusnya itulah yang menjadi pembeda antara golongan tua dan golongan muda. Golongan tua memang seharusnya lebih banyak menceritakan tentang masa lalu. Sedangkan golongan muda seharusnya lebih banyak membicarakan tentang masa depan. Bila ada orang muda yang lebih senang membicarakan masa lalu, mungkin... dia merasa tua!
Kakek itu dengan fasihnya menceritakan bahwa ia seangkatan dengan Pak Harto, Presiden kedua Indonesia. Saya mendengarkan dengan seksama karena saya memang tertarik pada sejarah. Apalagi cerita itu disampaikan secara gratis dalam perjalanan yang diselingi pemandangan sawah dan ladang.
Entah benar atau tidak yang disampaikannya, saya tetap mendengarkan. Seseorang bisa membuat sejarah seperti yang ia mau, kemudian menceritakannya dari mulut ke mulut. Bila hendak menuliskannya dan menyebarluaskannya, kau harus jadi pemenang dulu. Bila kamu bukan pemenang dan bukan siapa-siapa, katakanlah "hanya" prajurit rendahan, kau harus cukup puas dengan pendengar dan pemerhati yang terbatas.
Kakek itu bertanya pada saya, apa sekolah sekarang tidak mengajarkan Bahasa Jepang? Belum sempat saya menjawab, ia sudah melanjutkan berbicara.
Ia harus berhenti sekolah setelah kelas lima SR (Sekolah Rakyat) dan harus ikut bergerilya. Tahun 1942 keadaan begitu genting dan sang kakek bercerita betapa Jepang itu kejam.
"Seko kadohan, weruh wong Jepang iku kudu hormat. Ngene hormate," ujar sang kakek sembari mempraktikkan bagaimana ia harus mengangkat tangan kanan ke pelipis untuk menghormati tentara Jepang.
"Dari kejauhan, kalau melihat orang Jepang kita harus hormat. Begini hormatnya."
Spontan saya tersenyum. Begitu pula orang-orang lain di dalam angkot.
"Ee, dicritani malah mesam-mesem wae. Tenanan iki olehku crito. Ngalami dewe aku. Nek rak ngalami rak iso crito."
"Ee, diceritakan malah senyam-senyum saja. Benar ini ceritanya. Saya mengalami sendiri. Kalau nggak ngalami, nggak bisa cerita."
Senyum saya melebar menjadi tawa. "Lhah pripun mbah? Mirengke kok kulo," jawab saya. "Lha mau bagaimana mbah? Saya mendengarkan kok."
Sebetulnya saya ingin sekali bertanya, "Menawi kalih Londo kejem pundi mbah?"
"Kalau sama Belanda lebih kejam mana mbah?"
Karena sembari mendengarkan sang kakek yang terus bertutur tentang zaman kependudukan Jepang, saya teringat sebuah novel yang belum lama ini saya baca. "Burung-burung Manyar" judulnya, karya Y.B. Mangunwijaya.
Lewat Burung-Burung Manyar. Y.B. Mangunwijaya menjadikan 3 zaman, zaman kependudukan Belanda; zaman kependudukan Jepang; dan zaman pasca kemerdekaan, sebagai latar novelnya. Meski secara garis besar novel tersebut menceritakan tentang kisah hidup dan percintaan Setadewa dan Larasati, pembaca sedikit banyak bisa membayangkan bagaimana keadaan pada zaman-zaman itu. Zaman dimana Indonesia diperebutkan oleh bangsa-bangsa lain, hingga akhirnya jatuh ke tangan Bangsa Indonesia sendiri.
Tokoh utama novel tersebut, Setadewa atau Teto, juga merupakan pejuang pada masa itu. Tapi ia tidak berjuang untuk membela Indonesia, melainkan menjadi tentara Belanda. Teto yang berdarah campuran Belanda-Jawa teguh pada pendiriannya bahwa Indonesia memang sebaiknya tetap berada dibawah kekuasaan Ratu Wilhelmina.
Sikapnya itu sangat bertentangan dengan perempuan yang dicintainya, Larasati atau Atik, yang terpesona pada Soekarno dan mendambakan kemerdekaan bagi Indonesia. Bukan roman namanya bila tak getir.
Tapi tak perlu membaca roman, kisah kakek didepanku ini pun juga getir. Sebagai veteran, tak ada sepeserpun dana yang ia peroleh sebagai uang pensiun. Kini sang kakek 93 tahun itu mencari penghasilan dengan berjualan obat tikus di Pasar Gurah. Tanpa penyesalan ia bercerita bahwa itulah yang kini ia lakukan. Selain untuk memperoleh penghasilan, kegiatan itu juga mengisi waktunya.
"Mati ket ndisik, nduk, nek aku mung nganggur neng omah," kata sang kakek.
"Sudah mati daridulu, nduk, kalau saya menganggur di rumah."
Dengan hasil berjualannya, sang kakek yang mengaku sudah menikah empat kali itu tak pernah merasa kekurangan. Bahkan ia berkata masih sanggup bila diminta menikahi seorang janda lagi.
Kakek itu juga mengaku kalau ia bersyukur masih diberi umur yang begitu panjang, sehingga masih bisa merasakan zaman sekarang, zaman yang baik menurutnya karena gadis-gadisnya jauh lebih cantik dibanding saat zamannya muda.
Sambil terkekeh ia meminta diturunkan di Pasar Gurah kepada sopir yang dari tadi menyetir sambil menyimak cerita sang kakek.
Sore itu di tepi Pasar Gurah, seorang lelaki tua turun dari mobil angkutan umum dengan memanggul dagangannya yang terbungkus kain. Senyum jenaka tak henti ia lepaskan. Pun mata tuanya yang ikut tertawa, meski status pahlawan tak disandangnya. []
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar