Ironi lain justru kutemui di tanah kelahiran Sudirman
sendiri. Di kota dimana Sudirman menjadi ikon dan namanya dijadikan nama sebuah
universitas negeri, berdiri sebuah museum yang memuat kisah hidup dan
perjuangannya.
Sayangnya, Museum Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman yang
terletak di Purwokerto itu tak banyak menyimpan sisa perjuangan sang pahlawan.
Dari Jalan Raya Dr. Soeparno, Purwokerto, kompleks museum
menampakkan bangunan megah yang menjadi gedung utama museum. Halaman rumput
terawat dan keteduhan pepohonan mengelilinginya.
Bangunan besar yang terdiri dari satu lantai itu menjadi
satu-satunya ruang museum. Disana terpajang foto dan lukisan yang menggambarkan
perjuangan Sudirman. Terdapat pula replika tandu yang digunakan untuk
mengangkut Sudirman dengan tuberkulosisnya saat bergerilya.
Itu saja. Tak ada diorama. Tak ada layar monitor interaktif
yang menyajikan informasi atau sekedar permainan bagi pengunjung.
Melly, penjaga loket pintu masuk museum, mengaku cukup bosan dengan pekerjaannya memberikan karcis pada pengunjung karena sehari-harinya tak banyak pengunjung yang datang ke museum. 1-2 orang yang datang pada hari kerja sudah sangat bagus. Kecuali bila ada kunjungan dari rombongan anak sekolah yang mendapat tugas dari gurunya.
“Ya bosen lah, mbak, dari pagi sampai siang nggak
ngapa-ngapain,” tutur gadis asli Purwokerto yang telah 2 tahun menjadi penjaga
loket disitu.
Justru di Hari Minggu, kompleks museum terlihat ramai.
Sayangnya, keramaian itu bukan keramaian masyarakat yang hendak berwisata
sambil belajar ke museum, tapi keramaian warga yang berolahraga dan meramaikan
pasar tiban yang terselenggara tiap Minggu pagi di kompleks museum.
Di belakang gedung museum juga disediakan wahana permainan
untuk anak-anak sebagai magnet untuk pengunjung. Namun inovasi dan pengembangan
justru tak dilakukan pada inti museum itu sendiri.
Animo pengunjung yang cenderung rendah tak perlu diherankan
lagi begitu kita memasuki ruang museum dan melihat apa saja yang menjadi
koleksi disana.
Foto-foto yang terpajang, lukisan yang berdebu, dan bahkan
replika tandu yang tampak tak terawat (atau memang sengaja dibiarkan seperti
itu untuk menimbulkan kesan “antik”, saya juga tak tahu), adalah benda-benda
umum yang banyak terpampang di buku sejarah dan internet. Hampir tak ada sesuatu yang bagi saya mengesankan dan
benar-benar khas.
Di luar ruang museum, terdapat tangga yang akan membawa kita
menuju atap bangunan. Pada atap terdapat monumen dengan relief-relief cerita
perjuangan Sudirman. Tapi jangan mengharapkan relief yang runtut dan lengkap.
Museum yang dikelola oleh pemerintah setempat itu buka mulai
dari pukul 7 pagi hingga pukul 2 siang. Dengan tiket masuk 3 ribu rupiah per
pengunjung, isi museum terlalu sederhana menurut saya. Di era dimana generasi mudanya lebih mengenal bintang televisi daripada pahlawan kemerdekaan negerinya sendiri, inovasi dan kreativitas dalam pengembangan museum harus digalakkan. Jangan sampai kita memuseumkan museum. []
0 comments:
Posting Komentar