Ironi Sudirman di Tanah Kelahiran


Di kota kelahiranku, nama Sudirman identik dengan tawuran, tukang bolos, dan sebutan-sebutan lain yang mengarah pada pelajar nakal. Nama besar jenderal Sudirman dijadikan nama sebuah sekolah setingkat sekolah menengah atas, mungkin dengan harapan agar pemuda yang ditempa disitu juga akan menjadi sebesar Sudirman. Kenyataannya, harapan itu kini menjadi ironi. 
Ironi lain justru kutemui di tanah kelahiran Sudirman sendiri. Di kota dimana Sudirman menjadi ikon dan namanya dijadikan nama sebuah universitas negeri, berdiri sebuah museum yang memuat kisah hidup dan perjuangannya.
Sayangnya, Museum Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman yang terletak di Purwokerto itu tak banyak menyimpan sisa perjuangan sang pahlawan.
Dari Jalan Raya Dr. Soeparno, Purwokerto, kompleks museum menampakkan bangunan megah yang menjadi gedung utama museum. Halaman rumput terawat dan keteduhan pepohonan mengelilinginya.
Bangunan besar yang terdiri dari satu lantai itu menjadi satu-satunya ruang museum. Disana terpajang foto dan lukisan yang menggambarkan perjuangan Sudirman. Terdapat pula replika tandu yang digunakan untuk mengangkut Sudirman dengan tuberkulosisnya saat bergerilya.
Itu saja. Tak ada diorama. Tak ada layar monitor interaktif yang menyajikan informasi atau sekedar permainan bagi pengunjung.


Melly, penjaga loket pintu masuk museum, mengaku cukup bosan dengan pekerjaannya memberikan karcis pada pengunjung karena sehari-harinya tak banyak pengunjung yang datang ke museum. 1-2 orang yang datang pada hari kerja sudah sangat bagus. Kecuali bila ada kunjungan dari rombongan anak sekolah yang mendapat tugas dari gurunya.
“Ya bosen lah, mbak, dari pagi sampai siang nggak ngapa-ngapain,” tutur gadis asli Purwokerto yang telah 2 tahun menjadi penjaga loket disitu.
Justru di Hari Minggu, kompleks museum terlihat ramai. Sayangnya, keramaian itu bukan keramaian masyarakat yang hendak berwisata sambil belajar ke museum, tapi keramaian warga yang berolahraga dan meramaikan pasar tiban yang terselenggara tiap Minggu pagi di kompleks museum.
Di belakang gedung museum juga disediakan wahana permainan untuk anak-anak sebagai magnet untuk pengunjung. Namun inovasi dan pengembangan justru tak dilakukan pada inti museum itu sendiri.
Animo pengunjung yang cenderung rendah tak perlu diherankan lagi begitu kita memasuki ruang museum dan melihat apa saja yang menjadi koleksi disana.
Foto-foto yang terpajang, lukisan yang berdebu, dan bahkan replika tandu yang tampak tak terawat (atau memang sengaja dibiarkan seperti itu untuk menimbulkan kesan “antik”, saya juga tak tahu), adalah benda-benda umum yang banyak terpampang di buku sejarah dan internet. Hampir tak  ada sesuatu yang bagi saya mengesankan dan benar-benar khas.


Di luar ruang museum, terdapat tangga yang akan membawa kita menuju atap bangunan. Pada atap terdapat monumen dengan relief-relief cerita perjuangan Sudirman. Tapi jangan mengharapkan relief yang runtut dan lengkap.


Museum yang dikelola oleh pemerintah setempat itu buka mulai dari pukul 7 pagi hingga pukul 2 siang. Dengan tiket masuk 3 ribu rupiah per pengunjung, isi museum terlalu sederhana menurut saya. Di era dimana generasi mudanya lebih mengenal bintang televisi daripada pahlawan kemerdekaan negerinya sendiri, inovasi dan kreativitas dalam pengembangan museum harus digalakkan. Jangan sampai kita memuseumkan museum. []



0 comments:

Posting Komentar

 

My Tweeeeet