Fase Jatuh Bangun Jatuh Tertidur

Pukul 00:51 ditunjukkan oleh jam digital di telepon genggam tempatku membuat tulisan ini. Meski badan sudah kurebahkan sejak 2 jam yang lalu, tapi mata masih enggan terlelap dan yang hadir adalah ketakutan-ketakutan seperti malam-malam sebelumnya tiap mata ini mencoba terpejam.
Kuputuskan turun dari ranjang, mengusap muka yang menegang karena bayangan-bayangan suram, dan mengambil telepon genggam yang sedang dalam proses pengisian daya. Tepat ketika kunyalakan, kudengar hujan turun di luar. Segera kupanjatkan doa tentang 2 keinginan. Setelah itu aku mulai tulisan ini.
Yang hendak kuceritakan kali ini bukan tentang ajaibnya hujan yang tiba-tiba turun pada malam dimana aku tak mampu terpejam. Bukan pula tentang doa yang kupanjatkan begitu mendengar suara hujan.
Tapi tentang hal-hal yang mengusikku belakangan ini, yang menghantui malam-malamku dengan lebih seram daripada bayangan drakula atau vampir. (aku tak berani menyebut hantu-hantu asli Indonesia karena bagiku mereka sama menyeramkannya dengan mimpi burukku).
Sebenarnya apa yang kurisaukan belakangan ini adalah kerisauan biasa yang bisa mendatangi siapa saja. Aku takut akan kegagalan.
Iya, kegagalan. Sesuatu yang sudah sangat lumrah di kehidupan.
Ketakutan itu, entah dari mana datangnya, begitu halus sehingga ia dengan mudahnya menyelusup ke dalam kepalaku, ke seluruh tubuhku, ke dalam hatiku, hingga seolah ia menyatu denganku dan menjadi aku.
Ketakutan itu yang menentang mataku untuk terpejam dan tak membiarkan otakku beristirahat barang sejenak. Ketakutan itu yang membuatku memanjatkan doa lebih sering dari sebelumnya, bertanya-tanya lebih banyak dari sebelumnya, melumpuhkan lini-lini hidupku terkadang, dan sukses membuatku merasa frustasi pada malam-malam tertentu.
Tapi ajaibnya, berbulan-bulan melewatinya dan hingga kini aku masih hidup, masih bernafas meski terengah, dan masih merasa mempunyai akal sehat. Itu berarti aku masih mampu mengatasinya dan belum memerlukan psikolog (meski tak jarang godaan itu muncul).
Memang belakangan ini aku merasa jatuh untuk bangun dan kemudian jatuh lagi lalu bangun lagi begitu seterusnya. Kalau aku mengira, ketidakstabilan dalam jangka pendek itulah yang diam-diam mengusik alam bawah sadarku.
Kegagalan yang menjadi sumber ketakutanku pun bermacam-macam. Dan tak hanya kegagalan sebenarnya, tapi aku juga takut pada mimpi. Bukan sejenis mimpi buruk yang menghantui kita bila kita lupa berdoa sebelum tidur. Tetapi mimpi yang terlalu tinggi. Keinginan yang terlalu tinggi.
Sejak kecil aku terdoktrin oleh ungkapan "bermimpilah setinggi-tingginya" tanpa ada embel-embel dengan-mengukur-kemampuanmu atau jangan-tinggi-tinggi-nanti kalau-jatuh-sakit. Anjuran itu benar-benar terpatri dalam kepalaku dan menyebabkan aku suka berimajinasi dan bermimpi yang bukan-bukan. Misalnya saja aku bermimpi menjadi penyihir atau pawang badak bercula satu.
Dan belakangan baru aku tahu bahwa mimpimu pun bisa membunuhmu. Untuk itu aku mulai membatasi diri untuk tidak bermimpi yang mewah-mewah.
Tapi oh sulitnya membendung imajinasi. Dan mendapati dirimu terbangun dari mimpi tersebut seorang diri adalah sangat menyakitkan. Apalagi kalau kamu tahu bahwa kamu sedang tersesat, tak ada rumah untuk pulang.
Itu membuatku semakin sulit untuk jatuh tertidur.
Tapi setelah ini aku akan kembali ke ranjangku dan mencoba tertidur kembali. Sama seperti aku akan mencoba bangun kembali setelah jatuh, bahkan bila kakiku patah sekalipun! []


0 comments:

Posting Komentar

 

My Tweeeeet