Menanti di Menganti


Ini adalah kisah tentang hari yang mendung dan hati yang merana. Tentang sepasang anak manusia yang cintanya begitu direstui semesta. Kalau kamu sudah menyelesaikan tugas-tugasmu dan kamu belum ingin mengakhiri hari, kamu bisa membaca kisah tak penting ini.
Sang pemuda adalah seorang lelaki di ambang kematangan dengan bayangan masa depan yang baik dan normal. Ia lulusan fakultas teknik dari sebuah universitas negeri di sebuah kota di pesisir utara. Hatinya seputih salju yang bisa mencair kapan saja.
Laki-laki berkacamata itu tipikal orang yang mudah sekali percaya pada orang lain meski berkali-kali ia tertipu. Sedikit pendiam, sering susah berbicara terutama pada wanita. Tapi kedua bahunya tak serapuh hatinya. Kedua bahu itu kerap menanggung beban carrier berkilo-kilo dalam pendakian ke gunung-gunung terjal atau tebing-tebing pantai yang senantiasa beriak.
Pemuda itu menyukai seorang wanita yang manis dan baik budinya. Semesta bersukacita mendapati hati mereka saling tertaut.
Sang pemudi, perempuan berhati lembut dengan perilaku yang lurus. Tak banyak kerikil apalagi batu sandungan di jalan hidupnya. Ia sedikit pemalu dan takut meski sebenarnya hatinya menginginkan tantangan dan angannya mendambakan perjalanan ke hutan-hutan gelap atau gua-gua yang asing.
Tuntutan pekerjaan mewajibkan si pemudi mengenakan seragam putih bersih setiap harinya. Senyum manisnya dapat membantu orang sakit manapun merasa sedikit terobati. Namun senyum yang ia tawarkan secara gratis kepada siapa saja itu tak ada apa-apanya dibanding dengan satu senyum istimewa yang selama ini ia simpan. Si pemudi belum tahu, kepada siapa akan ia persembahkan senyuman istimewa itu.
Pemudi, sama seperti si pemuda, sama-sama menginginkan pasangan hidup yang lurus dan normal dan berkelakuan baik. Hati mereka pun tertaut satu sama lain sejak pertemuan mereka yang pertama.
Pemudi menunggu – dan sangat berharap – pemuda mengungkapkan perasaan dan seluruh hasratnya, meski pemudi sudah tahu. Tapi seolah pemudi ingin memastikan bahwa apa yang selama ini nuraninya katakan tak salah. Ia ingin tersenyum menang saat mendapati perasaannya ternyata masih sehalus sutra dan mampu membaca tanda-tanda alam. Pemudi menunggu dan menunggu.
Bahkan oleh penantian yang dibuatnya sendiri itu, perjaka-perjaka lain yang juga mendamba senyum sang pemudi harus turut menelan penantian. Pemudi mengindahkan mereka dan terus berharap.
Lalu apa yang terjadi pada sang pemuda?
Pemuda pun tahu bahwa pemudi menantinya. Pemuda ingin – sangat ingin – memenuhi keinginan sang pemudi dan mereguk manisnya madu asmara. Ia tak menginginkan perempuan selain sang pemudi.
Olala, ternyata pemuda kita nan rupawan itu tak mampu berkata-kata untuk sekedar mengungkapkan hal-hal yang sangat ditunggu oleh sang pemudi. Ia, laki-laki yang dibesarkan sebagai seorang pendengar yang baik dengan adat dan tata karma dari moyangnya yang terkenal halus, harus menanggung perasaan tak terperi ketika ia ingin namun tak bisa.
Perasaan tak mampu itu mengusiknya. Sangat mengusiknya. Pun si pemudi yang tak mau tahu juga harus menanggung penantian yang entah sampai kapan.
Berbagai kesempatan sudah dibuat oleh semesta yang geram melihat tindak tanduk pemuda. Seperti kesempatan terakhir yang satu ini.
Dua orang kawan si pemuda dan pemudi yang mengerti situasi dan berkonspirasi untuk mendukung semesta, merancang acara piknik sederhana di sebuah pantai sederhana dengan cuaca yang juga sederhana.
Pada senja yang temaram itu, sang pemuda dan pemudi dipersilakan oleh semesta untuk beradu kata dan memastikan pertautan hati mereka.
Pemudi yang terlihat enggan, dalam hatinya diam-diam girang dan masih menanti. Hatinya seringan awan mendung sore itu.
Pemuda pun diam-diam berterima kasih pada semesta yang menyiapkan semua ini. Pantai sederhana, dengan tebing berumput dan riak ombak pantai selatan yang menyala-nyala, berkas-berkas warna jeruk yang menyeruak lewat awan-awan di tepian timur, dan tikar hitam yang memisahkan tubuh mereka dengan rumput kering bulan Oktober.
Mereka membicarakan apa saja. Tentang Pulau Nusakambangan yang masih bermacan. Tentang perjalanan jauh yang harus ditempuh sang pemuda untuk piknik sederhana itu. Tentang usaha sang pemuda dalam sebuah seleksi untuk menjadi pegawai. Tentang jam-jam malam yang harus dilalui sang pemudi dengan seragam putih-putihnya. Tentang betapa mengantuknya sang pemudi pada pagi yang biasa-biasa saja.
Sang pemuda bercerita tentang mengapa pantai tempat mereka berada bernama Pantai Menganti.
“Menganti, aslinya sih menanti. Karena dulu, disini, ada seorang pangeran dan putri yang cintanya nggak direstui. Mereka saling melarikan diri dan berjanji buat ketemu lagi disini, di pantai ini. Jadi ini tempat menanti.”
Sang pemuda begitu bersemangat menceritakan legenda itu dan sang pemudi diam-diam mengiyakan kata “menanti” yang diucapkan berkali-kali oleh sang pemuda.
Mereka berbicara tentang banyak hal.
Sayangnya, kecuali tentang perasaan.
Dibalik topeng-topeng pembicaraan itu, sang pemuda begitu tersiksa dengan lidahnya yang kelu untuk mengatakan yang satu itu sementara sang pemudi terus menghitung bintang-bintang yang mulai bermunculan di langit sambil menanti kata-kata idamannya diucapkan oleh sang pemuda.
Tapi semesta hanya bisa merancang tanpa punya kuasa.
Semesta bisa saja punya kekuatan maha dahsyat yang mampu meluluhlantakkan daratan luas hanya dalam sekali sapuan. Semesta bisa melahap apapun yang dilaluinya dengan bara api yang menyala dengan garang. Semesta dengan mudah menggerakkan bijih dalam bumi untuk menggoyang apapun yang ada di permukaaannya. Semesta dengan sekali sentilnya bisa membuat bintang-bintang bertubrukan dengan cahaya yang tumpah kemana-mana.
Tapi semesta tak punya kuasa untuk menggerakkan lidah seorang pemuda sopan dan berhati luhur itu untuk mengucapkan kata-kata yang bisa menyelamatkan sang pemudi. Semesta juga tak punya kekuatan apapun untuk membangun kembali dinding kesabaran di hati sang pemudi yang telah runtuh.
Satu kesempatan terlewati. Dua kesempatan terlampaui. Tiga kesempatan dan semesta menyerah.
Tak ada yang bisa memastikan apakah bantal sang pemudi malam itu basah atau apakah harapan yang telah dipupuk sang pemuda masih tumbuh subur  setelah dihantam badai pantai selatan.
Tak ada yang mengerti apakah sang pemudi begitu yakin dengan pilihannya untuk memilih orang lain yang lebih pandai berkata-kata dibanding pemuda baik hati yang agak pendiam itu.
Mungkin kamu begitu menyayangkan sang pemuda yang lidahnya begitu lemah atau sang pemudi yang tak tahan menanti. Mungkin juga kamu sudah bisa menebak akhir cerita, atau membuat akhir cerita sesuai dengan versimu sendiri. Apapun itu, kita semua pasti sepakat bahwa ternyata cinta saja tak cukup. Semesta bisa mendukung sebesar apapun cinta kita. Tapi Newton telah membuktikan bahwa usaha hanya akan memiliki nilai bila ada gaya yang bekerja dengan perpindahan yang tak boleh nihil.

Semesta tetap diam dan hanya melontarkan isyarat-isyarat kepada para anak manusia yang sering mengaku mampu membaca tanda. []




6 comments:

  1. tulisanmu indah nyai, jika nanti buku pertama mu terbit, mohon ijinkan ajudan mu untuk diberi kesempatan membaca draftnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah wah buku opo kang? buku nikah po? mbuh kapan nek kui hahaha

      Hapus
  2. Mantap nyai, ikutan jalan-jalan di sini ya

    BalasHapus
  3. saya juga mau belii bukuunya teh bela

    BalasHapus

 

My Tweeeeet