Penyusun : Tim Kecap Dapur 40 Tahun Tempo dan Tim Kecap
Dapur 15 Tahun Tempo
No. ISBN : ISBN-13: 978-979-91-0402-1
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (Jakarta)
Tahun Terbit : 2011
Jumlah halaman : xviii+333 hlm
Lembar-lembar sejarah Indonesia
sejak masa pasca kemerdekaan tak bisa terlepas dari nama besar media ini. Ya,
sejak berdirinya pada tahun 1971, Tempo tak pernah berpindah alur dalam
mengiringi setiap peristiwa penting dalam kronik sejarah kita, bahkan hingga
kini. Meski sempat dimatikan suri oleh Soeharto, kebangkitannya mampu membawa
angin kebebasan pers yang lebih segar dan berani – berani berbeda, berani
melawan arus, bahkan berani pertaruhkan nyawa!
Mungkin mudah sekali untuk
melahirkan sebuah media yang keras dan tegas semacam Tempo. Yang sulit adalah
mengasuhnya, mendidik dan membesarkannya hingga seperti sekarang ini.
Menciptakan bisa menjadi lebih mudah ketimbang menjaganya agar kontinyu. Dan
selama 40 tahun, Tempo telah membuktikan kokohnya tiang konsistensi mereka.
Tentunya tak mudah. Apa rahasianya? Dalam buku ini, para penulis membuka
lebar-lebar pintu dapur mereka untuk khalayak. Siapapun bisa memasukinya,
menjelajah tiap sudut rak bumbu dan bahan dapur yang selama ini mampu
menyajikan sebuah majalah yang memiliki cita rasa khas dan tak surut pelanggan.
Juga proses dan berbagai cerita mereka tentang bagaimana menjaga agar asap
dapur tetap mengepul di tengah berbagai krisis.
Buku ini dibagi menjadi dua
bagian. Bagian pertama (bisa juga anda sebut bagian kedua) merupakan edisi 40
tahun (1971-2011), yakni masa sejak berdirinya Tempo hingga kini, disertakan
saat Tempo mati suri karena pembredelan. Pengisinya merupakan generasi baru, dengan
model penulisan layaknya laporan reportase biasa. Mereka menggali
informasi-informasi dari para generasi pendiri, meski jarak mereka sangat
lebar.
Sedang bagian kedua (bisa juga
anda sebut bagian pertama) atau edisi kecap dapur, mengupas tentang masa 15
tahun (1971-1986) Tempo berdiri. Edisi kali ini ditulis langsung oleh si pelaku
sejarah, yakni generasi pendiri Tempo. Kepenulisannya pun lebih menggunakan
sudut pandang pertama, seolah kita memang sedang didongengi oleh kakek kita
tentang sejarah perjuangan mereka. Namun bukan memuji diri ataupun membanggakan
prestasi, penuturan-penuturan mereka lebih seperti berbagi cerita dan
pengalaman. Baik itu pengalaman menyenangkan, pahit, hambar, bahkan jenaka.
Ditulis secara runtut berdasar
kronik sejarah, buku ini membawa pembaca menelusuri kantor pertama Tempo di
Jalan Senen Raya hingga sekarang ini berkantor di Jalan Proklamasi. Pembaca
juga diajak merasakan pengalaman wartawan atau koresponden Tempo dalam
peliputan yang ekstrim. Begitu detail dan runtutnya, sehingga begitu asyik
untuk diikuti.
Disini juga tertulis tentang
orang-orang Tempo yang telah tiada, lengkap dengan foto dan cerita bagaimana
mereka pergi. Salah satunya yakni Ahmad Wahib, aktivis yang juga penulis “Catatan
Harian Pergolakan Islam”. Memang, Tempo telah melahirkan dan menempa begitu
banyak tokoh yang tak biasa. Sebut saja Dahlan Iskan (kini Menteri BUMN), Karni
Ilyas (kini Pemimpin Redaksi TvOne) dan lain-lain.
Secara keseluruhan, buku ini
merupakan bentuk lain dari buku ilmu jurnalistik yang telah banyak beredar di
pasaran. Buku ini tak menggurui, namun banyak memberi ilmu. Tak merentet
prestasi, namun mampu memunculkan decak kagum bagi mereka penggelut dunia
jurnalistik. Lewat pengalaman mereka, baik secara lembaga atau personal, Tempo
mengajari bagaimana seharusnya seorang jurnalis bersikap, bagaimana seorang
jurnalis menulis, membidik berita maupun gambar, dan sebagainya.
Prinsip-prinsip itulah yang menjadi material dari tiang konsistensi mereka
hingga mampu berdiri, bahkan berkembang seperti sekarang ini.
kekuranganya adalah diantaranya masih nampak unsur curhat dalam edisi 15 tahunnya, menceritakan profil alumni2 TEMPO yang justru mirip narsisnya majalah persma jawa timuran :P
BalasHapuskemudian masih banyak ditemui salah ketik yang mengurangi kenyamanan baca di bagian yang bersampul kuning edisi ultah 15. dibandingkan buku tempo lainnya, katakanlah buku "seandainya aku wartawan TEMPO", buku ini masih kalah unsur edukasinya. mungkin karena lebih menitik beratkan pada unsur nostalgia dan dalam rangka perayaan ulang tahun shg sejarah dan informasi dapur tempo punya porsi lebih banyak.
anehnya ini dikeluarkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia yang notabene punya kedekatan dengan KOMPAS. sementara buku tentang sejarah dan isi dapurnya KOMPAS setahuku belum ada..
wow. makasih infonya mas gan. jd tau. dulu si sempet megang "andai aku wartawan tempo"nya gm tp berhubung keburu diambil yg punya jd blm baca.
BalasHapustp secara garis besar sih buku ini cukup banyak memberi pelajaran..cuma dgn kemasan yg "lebih ringan"
iya sih bik (bi inem, soalnya kamu panggil aku gan :D).. bagian 15 cuma enak baca akhir2nya. bagian 40thn lebih bagus..
BalasHapusjadi mau saya bikinin teh atau kopi gan? gan, kabar2 ya kalo sudah dikirim vademekumnya
BalasHapus