Cerita Laptop Tua


Dulu awalnya, Bapak bilang baru akan memberiku laptop bila ada satu tulisanku yang berhasil menembus koran. Aku iya iya saja. Dalam hati tak terlalu peduli. Saat itu kelas dua SMA, aku sedang dimabuk cinta dengan kegiatan-kegiatan khas anak SMA, pramuka, paskibra, rohis, karya ilmiah remaja, palang merah remaja, dan lain-lain. Aku jarang sekali menulis waktu itu. Paling hanya menulis karya ilmiah, mengisi kolom-kolom mading rohis dan tentu saja menulis sesuatu hanya semata untuk memenuhi nilai tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia. Aku suka suka saja dan tak mengeluh. Karena pada dasarnya aku suka menulis.
Aku juga masih memiliki satu unit PC yang dibelikan Bapak saat SMP. Awalnya keluargaku tak memiliki komputer. Saat di rumah Bulik, aku iseng-iseng bermain keyboard tua yang sudah tak digunakan. Di meja tersebut teronggok sebuah komputer kuno yang sudah tak bisa dihidupkan. Aku berpura-pura mengetik sesuatu dengan cepat dan melihat hasilnya di monitor tabung. Tentu saja monitor itu mati. Bukan Bapak yang melihat aku bermain-main keyboard. Tapi kawannya. Si kawan itu ternyata melapor ke Bapak. Akhirnya Bapak memberiku sebuah komputer, bukan membelikan. Komputer itu tua, berpentium dua. Diambil Bapak dari kantornya, karena di kantor komputer itu sudah tak dipakai. Rasanya senang bukan main waktu itu. Meski ujung-ujungnya aku jengkel juga, karena komputer itu begitu lambat, tak ada slot compact disc sehingga aku tak bisa memasukkan game-game yang kuinginkan. Hanya bisa dimasuki disket (aku masih menyimpan kepingan-kepingan disket tersebut hingga sekarang).
Aku lupa kapan tepatnya. Bapak membelikanku seperangkat komputer. Baru. Dan Beli. Pentium 4 dan warnanya hitam seperti komputer modern, bukan keabu-abuan seperti yang dulu. Meski masih bermonitor tabung, tapi warnanya hitam, bukan abu-abu. Aku senang bukan main. Tak lupa pula satu pasang speaker (yang juga berwarna hitam). Dan, ah... Printer! Ya, printernya juga berwarna hitam dan bisa bekerja. Bunyinya aku suka. Jadilah aku suka mencetak apa saja. Gambar, tulisan, dan hal-hal yang tak penting lainnya. Hanya karena aku suka suaranya. Aku juga ingat aku telah memenangkanjuara pertama lomba menulis surat untuk ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) tingkat propinsi berkatnya, lalu aku mendapat uang banyak dan Bapak berkata aku harus menyisihkan 2,5 % nya untuk diberikan pada pengemis. Aku menuruti.
Saat aku kelas tiga SMP, komputer itu sangaaaaat berjasa. Ia banyak membantuku menyelesaikan tugas-tugas akhir sekolah dan ia hebat, aku menyusun lagu pengiring tari untuk ujian praktik dengannya. Sempat aku marah-marah karena pernah ia hang. Bapak hanya bilang, “Lha gimana temen-temenmu yang endak punya komputer?” Aku terdiam. Sindiran Bapak itu mengingatkanku bahwa aku harusnya bersyukur, karena tak semua anak seumurku bisa memiliki komputer.
Komputer itu menemaniku beranjak dewasa, menuju SMA. Namun saat SMA, aku lupa diri. Aku terlalu asyik dan sibuk dengan kegiatan-kegiatan baruku, agak melupakan komputerku itu. Lagipula sekarang adikku yang lebih sering menggunakan. Aku sering memarahinya karena ia hanya menggunakannya untuk bermain game.
Bapak masih sering mengiming-imingi aku. Kalau mau punya laptop, harus ada tulisanku yang dimuat di koran. Aku tak begitu tertarik ingin punya laptop saat itu.
Hingga akhirnya komputerku rusak dan tak bisa digunakan. Aku menyalahkan adikku karenanya. Ia terlalu sering membebani komputer dengan mengisi game-game berat dan kalau bermain ia sering lupa waktu. Aku tak heran juga komputer itu rusak. Namun sangat sedih. Dan Bapak mengerti.
Akhirnya Bapak dan Ibu mengambil kredit satu unit laptop untukku, meski belum satupun tulisanku yang termuat di koran atau majalah. Tak tanggung, mereka mengambil Toshiba, salah satu merk yang pada saat itu dianggap mahal. Laptopnya begitu besar dan berat. Tak memiliki web camera, dan warnanya bukan hitam. Meski kredit atau mencicil, rupanya Bapak dan Ibu mau yang terbaik untukku. Padahal jika mereka berkonsultasi atau membicarakannya dulu denganku, aku akan meminta merk lain yang berharga jauh lebih murah. Bapak bilang padaku bahwa harus ada paling tidak satu tulisanku yang termuat di koran sebelum laptop ini habis masa cicilannya.
Dan kini telah setahun sejak laptop ini telah lunas. Belum ada satu tulisankupun yang dimuat di koran. Namun sekarang Bapak tak pernah menagih. Bapak yang memasukkan aku ke kampus politeknik, dimana aku dididik menjadi pekerja. Jurusanku teknik mesin. Sangat jauh dari dunia tulis menulis. Aku paham, Bapak tak berani lagi menagih tulisan. Karena ia tahu aku sakit dan kecewa. Kecewa karena Bapak memintaku pindah dari kampus Jogja ke kampus politeknik. Aku menurutinya demi Bapak dan Ibu, dan keluarga besarku. Kampus Jogja itu kampus impiannya. Dan kampus impianku juga. Masih terngiang kata-kata Bapak pada saat awal-awal aku pindah berkuliah di Semarang. “Bapak tahu, Nduk, kamu itu anaknya seneng belajar, seneng sekolah. Jane ya tepat kalo masuk jogja. Tapi kalo di semarang kan ya besok enak juga, lulusnya cepet, langsung dapet kerja. Ya besok kamu kuliah lagi aja.” Aku tak menjawab apa-apa dan hanya mengangguk. Duh Bapak memang laki-laki paling baik sedunia.
Kini empat tahun sudah aku memiliki laptop ini. Masih sama, belum satupun tulisanku termuat di koran. Dan setiap bertemu tak pernah kudengar Bapak menagih. Namun Bapak pernah berkata, “Yah, kalo emang bakatmu disitu, jadi penulis aja juga ndak papa.” Itu diucapkannya setelah aku bercerita padanya bahwa aku telah menjadi juara pertama (lagi) dalam sebuah lomba esai. Dulu ia mau aku menjadi insinyur dan kini ia mau aku jadi penulis. Jengkel juga. Karena ia masih begitu setia memotongi koran Jawapos, mengguntingi tulisan Dahlan Iskan (CEO Notes) dan memberikannya padaku seraya berkata, “Ini ini, tulisane bosmu sesuk, Nduk.” Saat itu Dahlan Iskan masih menjabat sebagai Direktur Utama PT PLN (Persero) alias bakul listrik.
Start Up screen laptopku kini, setelah dua kali ku upgrade. Awalnya masih menggunakan Windows Vista, kini Windows 8
Hingga laptop ini telah empat tahun menemaniku, Bapak tak lagi menagih tulisanku. Bapak tak perlu tahu bahwa telah ada puluhan tulisan yang aku ciptakan. Bapak, sarjana komunikasi, terima kasih atas laptop ini.

0 comments:

Posting Komentar

 

My Tweeeeet