Pukul 10.00 pagi kami berangkat menuju Universitas Negeri Yogyakarta. Ah, lagi-lagi Yogya. Bisakah aku dipisahkan dari Yogya, barang setahun? Rasa-rasanya tidak.
Tiba disana pukul 13.30 setelah menunggu Dewi dan Ratih yang tersasar. Aku, Dewi, Ratih, Hardani, Dian, Ipang, Siswoyo, Ipul, dan Eka mengendarai motor, sedang yang lain naik bis dan mobil. Beruntung sekali tak ada hujan dan macet. Perjalanan jadi lebih mudah. Setelah makan siang dan menunaikan solat, rasanya segar kembali. Lalu kami menuju kantor LPM Ekspresi. Ternyata kantornya terletak di lantai dua Student Centre. Aku teringat, dulu aku pernah kemari untuk sekadar mencari area hotspot yang bercolokan, karena laptop kawanku batereinya tak bisa diajak kompromi. Sempat misuh-misuh juga waktu itu, karena di UGM sulit sekali mencari colokan. Dasar, Universitas Gedung Manten.
Disana akhirnya aku bertemu secara langsung dengan sosok Aufa. Aku sudah sering mendengar cerita tentangnya dari Kak Milla. Ya, Aufa adalah tetangga Kak Milla di Tlogosari, dan ia adalah anak Jurusan Ilmu Sejarah. Bibirnya tak pernah terlepas dari rokok dan kata-kata kotor. Sembilan tahun menuntut ilmu di pondok pesantren, menjadi sesosok Aufa yang sekarang. Tuhan memang tak pernah berhenti berkreasi.
Orang-orang Ekspresi amat berbeda dengan Balairung yang cenderung serius. Meski aku sering mendengar dari Galih bahwa anak-anak Balairung itu ramah-ramah, namun aku merasa lebih nyaman dengan anak-anak Ekspresi yang apa adanya dan sama gilanya dengan Dimensi.
Di Ekspresi kami mendapat banyak sekali ilmu. Pikiranku menjadi lebih terbuka. Diskusi ini benar-benar hidup dan bermanfaat. Aku menyukainya. Apalagi dengan suasana yang santai dan menyenangkan. Hanya saja aku agak kecewa dengan crew tingkat satu yang masih belum tergali pikirannya. Pertanyaan-pertanyaan didominasi oleh crew tingak dua.
Dan yang paling aku ingin terapkan di Dimensi adalah mengenai budaya membaca dan berdiskusi. Ekspresi amat kental dengan suasana intelektualitas meski mereka terkesan urakan. Sedangkan Dimensi, urakan iya, intelektualitasnya tak begitu kentara. Tak menyalahkan juga, karena memang anak universitas dan politeknik amat berbeda.
Aku ucapkan banyak sekali terimakasih untuk LPM Ekspresi yang telah mau membagi ilmunya.
Saat pulang, tak disangka helmku tak ada. Hilang, dicuri orang atau entah dicuri apa. Memang salahku juga, aku tak biasa mengunci helmku. Aku hanya berdoa semoga helmku bermanfaat bagi yang memilikinya sekarang.
Aku memisahkan diri dari rombongan. Berniat menemui Abu, ia mengajakku main. Aku senang sekali. Agak kikuk juga, ketika menunggu Abu, Mas Adi datang. Setelah Abu datang, ia hanya berpesan agar Abu mengantarku membeli helm dan mengajakku makan.
Ternyata Abu telah membawa jajanan, ketela goreng dan teh manis. Ia mengajakku ke Tamtim, namun ternyata Tamtim masih basah setelah hujan. Akhirnya kami duduk-duduk di selasar sembari menikmati makanan yang dibawa oleh Abu. Tak lama setelah itu Abu mengangkat telepon yang ternyata dari adiknya. Aku tak berhenti terkekeh mendengarkan ia berbicara dengan ngapaknya. Ditambah Abu memang lucu orangnya. Ia begitu menyayangi adiknya. Beruntung sekali memiliki kakak seperti Abu.
Abu juga bercerita bahwa ia dan kawan-kawan bersama-sama membeli kelinci hias untuk dibudidayakan. Empat ekor yang mereka beli. Satu jantan dan tiga betina. Poligami kelinci.
Setelah solat isya di masjid al ihsan, masjid kampus FKT, Abu mengajak pindah ke rektorat. Kami duduk dibawah payung. Lalu datang Hony. Tak lama kemudian kami berangkat mencari helm karena hari sudah hampir larut, pukul 21.00. Aku dan Abu menuju kost Abu dahulu untuk mengambil helm. Ia menunjukkan kelinci-kelincinya padaku. Lucu sekali, mereka gemuk. Aku bertanya pada Abu siapa namanya. Ia jawab, "Adik, Bela, sama Jannahti."Ketika akan pergi, Pandu keluar dari kamar. Aku hanya menyapanya, "Pandu, halo!" Pandu yang sekarang bukan Pandu yang dulu pertama kali kukenal. Namun sudahlah, everybody's changing and I don't feel the same..
Belum sempat mendapat helm, hujan turun. Aku dan Abu terpisah dengan Hony. Dan akhirnya Hony memutuskan untuk berteduh. Sedang aku dan Abu memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Karena tanpa helm aku tak bisa pulang besok. Sudah kucari pinjaman namun tak dapat.
Ah, akhirnya ketemu, didekat Stadion Kridosono. Abu menawariku, mau pulang atau mau jalan-jalan dulu. Aku bilang jalan-jalan dulu saja. Hujan tetap mengucur. Dan tak tahu kenapa aku senang sekali.
Lagi-lagi aku mengagumi Abu, sosok yang menyembunyikan kharisma dibalik senyum lucunya.
0 comments:
Posting Komentar