Banyak Anak Banyak Rejeki


Sial, gerutuku dalam hati. Bagaimana tak kesal, tiap janjian dengan kawanku yang satu itu, tak pernah tak terlambat. Janjian jam 7 pagi, baru datang jam 8. Janjian jam 10, jam 12 baru muncul. Huh. Herannya, aku tak pernah ingat untuk datang nelat juga.
Sore itu cukup terik. Cerah lebih tepatnya. Taman tempat aku menunggu kawanku itu ramai sekali. Disana-sini terlihat anak-anak berlarian dan bermain, ada yang didampingi orangtuanya dan tidak. Tak sedikit pula terlihat pasangan muda-mudi yang (sepertinya) sedang dilanda asmara. Tak heran, ini hari Sabtu. Sabtu sore. Ya, waktu yang cocok untuk melakukan aktivitas-aktivitas pertamanan.
Aku mencari-cari bangku yang kosong untuk duduk. Tak enak menunggu sambil berdiri.
Diantara bangku-bangku yang telah terisi, aku menemukan satu yang masih kosong, bersebelahan dengan sesosok ibu-ibu dengan anaknya yang kira-kira berumur 3 tahun. Tak apa, pikirku, daripada harus berdiri terus.
Setelah duduk, aku segera mengeluarkan Playstation Portable dari tas untuk mengusir kebosanan menunggu. Hadiah dari ayah ketika aku berhasil lulus ujian nasional dengan nilai bagus, kira-kira telah 2 tahunan aku miliki.
Saat masih asyik memilih game yang akan kumainkan, tiba-tiba si anak dari ibu di sebelahku meraih-raih benda yang sedang kupegang. “Eh, eh, Zidan, ndak boleeh,” begitu kata si ibu sambil menghalau tangan balitanya yang menginginkan PSP ku. Namun tetap saja anak itu meraih-raih dengan tangan mungilnya. “Ndak boleh ya Zidaan, ngganggu masnya. Kalau nakal tak tinggal disini sendirian lho,” si ibu kembali memperingatkan anaknya yang ternyata bernama Zidan tersebut.
“Maaf ya mas, namanya juga anak kecil,” ibu itu berkata padaku.
“Oh, iya bu, nggak papa. Anaknya lucu kok bu. Zidan ya namanya? Kayak pemain bola bu,” jawabku sambil mengajak Zidan bersalaman. Si Zidan hanya ber huwa huwa ria sambil memandangiku. Mungkin aku terlalu tampan.
“Iya ini mas. Sengaja dikasih nama begitu sama bapaknya, biar mirip kayak pemain yang namanya zidan zidan itu mas.”
“Zinedine Zidane, bu.”
“Nah, iya, itu! Lupa saya. Anak saya laki-laki semua, dikasih nama kayak pemain bola sama bapaknya mas.”
“Oh, emang anak ibu ada berapa? Siapa aja bu namanya? Saya juga suka bola. hehe.”
Belum sempat si ibu menjawab pertanyaanku, si ibu itu berteriak, “Figoo, Henry, jangan naik-naik pagaar!”
Reflek aku juga menoleh kearah ibu itu berteriak. Terlihat tiga anak laki-laki yang mencoba memanjat pagar taman. Salah dua diantara mereka mirip satu sama lain, hanya yang satu lebih besar, tampaknya ia si kakak.
“Mas aku nitip Zidan dulu ya.” Tanpa basa basi Zidan sekarang berada di pangkuanku sementara  ibu itu menghampiri si Louis Figo dan si Thiery Henry kecil. Aku hanya bisa melongo. PSP sudah kuamankan di tas demi menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Terlihat si ibu menggandeng dua anaknya dengan paksa. Figo dan Henry yang malang hanya pasrah karena takut dijewer.
“Makasih ya mas,” si ibu kembali mengambil Zidan dari pangkuanku. Sementara Figo dan Henry terdiam di samping ibunya, mutung. Belum sempat aku membalas, ia sudah melanjutkan perkataannya. “Yah gini ini deh mas, repot banget, kalo punya anak banyak. Huuh,” ibu itu bercerita sambil menghela nafas.
“Anak saya ada empat mas, ini tiga masih kecil. Yang paling besar baru kelas lima SD.” Si ibu itu melanjutkan ceritanya. Aku melongo. Lalu melanjutkan mendengar dan manggut-manggut.
“Saya sampai harus berhenti kerja mas, buat ngurus anak. Tetangga-tetangga pada ndak mau dititipin soalnya anak mereka juga masih kecil-kecil. Padahal ya mas ya, jaman sekarang, kalo ndak kerja, ndak mungkin bisa nutup buat kebutuhan. Apalagi anak saya empat.”
“Kok engga KB aja bu? Jadi kan bisa ngatur mau punya anaknya berapa.” Pertanyaanku mungkin terlalu bodoh tapi aku benar-benar ingin tahu. Memang enak punya anak banyak-banyak? Mau dikasih makan apa? Pikirku.
“Bapak ndak setuju KB mas,” jawab ibu itu sambil mesam-mesem. “Maklum, mas, orang desa. Katanya banyak anak banyak rejeki. Eh bukane banyak rejeki tapi malah banyak utang sana sini.”
“Ibuuk, aku pengen es itu,” entah Figo atau Henry yang berbicara sambil menunjuk ke penjual es lilin aneka warna.
“Aduuh, kamu itu udah kebanyakan jajan. Besok lagi ah. Ndak boleh jajan banyak-banyak. Bisa dimarahi bapak kamu.”
Si anak melanjutkan mutungnya kembali.
“Ya gini mas. Suami saya itu cuma satpam di kantornya orang Cina. Kudu hati-hati buat ngeluarin uang. Kasian juga sih ya anak-anak saya jadi ndak bisa banyak jajan kayak anak-anak lain, tapi yah mau gimana lagi..,”
Aku hanya manggut-manggut. Agak kasihan, tapi seperti ibu itu tadi bilang,”Yah mau gimana lagi?”
 Si ibu kembali bercerita sambil matanya menerawang. “Apalagi ini si Sari bentar lagi ngelahirin anak keduanya.”
“Sari?” tanyaku keheranan.
“Sari itu istri keduanya bapak, mas,” jawab ibu itu sambil mesam-mesem lagi. Aku pun semakin melongo dan hanya bisa melongo. 

0 comments:

Posting Komentar

 

My Tweeeeet