Penulis: Irving Stone
Tahun terbit asli: 1934
Diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Serambi
Ilmu Semesta, Juli 2012.
Menjadi seorang pelukis sama
sekali tak terpikirkan oleh Vincent van Gogh sebelum usianya mencapai 27 tahun.
Ia hanya seorang pramuniaga di sebuah galeri seni milik salah satu pamannya. Hingga
seorang gadis menolak cintanya dan keadaan tersebut memaksa Vincent untuk
hengkang dari pekerjaannya. Lalu ia pergi dari London.
Hari-hari petualangannya yang
keras dan sarat penderitaan pun dimulai. Berbagai pekerjaan telah Vincent
lakukan. Menjadi pendeta, pengabar Injil bagi para penambang batu bara, menjadi
guru pernah Vincent jalani. Berbagai bentuk penderitaan seperti kelaparan,
kedinginan, tak memiliki uang sepeser pun, akhirnya membawa Vincent menuju satu
keputusan yang menjadi titik balik di usia ke 27 nya, yakni menjadi seorang
pelukis.
Tak semudah yang dibayangkan
Vincent, berhari-hari ia terus berusaha untuk melukis sebaik mungkin, namun
belum satupun lukisannya kunjung laku dijual. Berkat sokongan dana dari adik
tersayangnya, Theo van Gogh, Vincent dapat terus hidup dan membeli peralatan
melukis. Ketergantungan terhadap adiknya tersebut membuat ia banyak dicemooh
dan dipandang sebelah mata. Apalagi Vincent tak mau melukis dengan cara
konvensional, ia merasa harus meresapi tiap apa yang dilukisnya, mendapatkan
ruh dari gambarnya, dan pemikirannya itu banyak ditertawakan.
Berbagai tempat pun telah ia
datangi demi mematangkan teknik melukisnya. Namun tahun demi tahun berlalu dan
masih belum ada satupun lukisannya yang terjual. Dengan penuh depresi karena
ditekan sana sini, akhirnya Vincent memutuskan untuk menerima tawaran lama Theo
untuk menetap di Paris bersamanya. Di Paris, Vincent mengalami banyak kemajuan
meski tetap saja tak satupun lukisannya terjual.
Hari-hari dengan rasa lapar dan
kesendirian kembali dirasakan Vincent ketika ia memutuskan untuk pindah ke Arles,
daerah selatan Perancis yang cukup terik. Vincent melukis sepanjang hari hingga
akhirnya menderita gangguan saraf, sampai-sampai ia memotong salah satu daun
telinganya dan memberikannya pada pelacur kesayangannya.
Novel ini menceritakan dengan
begitu jelas detil-detil kehidupan Vincent van Gogh, seorang pelukis kelahiran
Belanda yang sepanjang hidupnya hanya mampu menjual satu lukisan saja. Namun
setelah ia tiada, karya-karyanya diapresiasi sangat baik dan bahkan dihargai
mahal. Salah satu lukisannya yang paling terkenal adalah “Starry Night” yang
dibuatnya pada 1889. Novel ini juga sukses difilmkan pada tahun 1956 dan meraih
berbagai penghargaan.
Irving Stone yang merupakan penulis kelahiran Amerika Serikat dengan baik mampu menggambarkan dan
membawa pembaca untuk turut merasakan hal-hal yang dirasakan van Gogh, baik itu
rasa senang, penderitaannya, amarahnya, dan semangatnya saat melukis. Tak
diragukan bila novel biografis ini dinobatkan sebagai adi karya dari Stone.
0 comments:
Posting Komentar