Kartosoewirjo memandang dingin. Ia diam saja dalam bingkai kayu berdebu
itu.
Sukirman hanya seorang diri duduk dibalik meja kayu.
Kawannya sedang ada urusan di belakang. Jumat pagi itu, 7 Desember 2012, ia
kebagian tugas piket menjaga Museum Perjuangan Mandala Bhakti.
Badge Bintaldam IV Diponegoro tersemat di lengan kiri
bajunya. Badge itulah yang menandakan ia wajib menjalankan tugas piket menjaga
museum seminggu sekali. Belakangan baru saya tahu kalau Bintaldam adalah
kepanjangan dari Pembinaan Mental Daerah Militer. Sedang angka romawi
dibelakangnya menandakan daerah militer tempat ia bertugas. Sukirman sendiri
yang menjelaskan.
Tak banyak yang bisa dilihat pagi itu. Petugas loket belum
datang, pun pemandu. Hanya ada petugas piket, namun mereka tak berwenang
membuka ruang. Sekitar pukul 10 petugas baru datang.
Saya hanya bisa melihat lewat jendela-jendela berdebu. Debu
pada kaca tak cukup tebal. Cahaya matahari masih mampu menerobos.
Di lantai satu, dari pintu masuk belok kiri terdapat ruangan
yang berisi replika senjata, foto-foto dan berbagai peta. Senjata laras panjang itu dipajang dalam lemari kayu berkaca. Berbagai foto terpajang di
dinding. Termasuk salah satunya adalah foto Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo,
pendiri Negara Islam Indonesia. Di sampingnya terpaku peta penumpasan DI/ TII
(Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia) Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Ruang pengantar, masih di lantai satu, dari pintu masuk
belok kanan. Isinya beberapa foto dan benda replika proklamasi 1945. Kain merah
putih jahitan Fatmawati nampak terlipat rapi.
Di lantai dua sebagian jendela ruang tak bisa diintip.
Kacanya dicat hitam. Sekarang masih pukul 9. Petugas loket belum datang.
Sukirman bilang bila ingin masuk harus menunggu.
“Sini itu yang penuh cuma Rabu,” kata Sukirman. Lho,
hari-hari lainnya?
“Senin pagi ada upacara di kodam. Selasa paginya senam
bersama. Kamis biasanya renang. Kalau Jumat apel. Ini lagi pada apel di kodam,
mungkin jam 10an baru turun (menuju Semarang bawah).”
Otomatis, jam buka museum bagi pengunjung umum menjadi
berkurang. Senin hingga Kamis, museum hanya dibuka hingga pukul 2 siang. Jumat
hingga pukul 3 sore. Sedang Sabtu dan Minggu libur.
Mandala Bhakti memang tak seperti museum lain yang dikelola
oleh pemerintah. Pemerintah hanya memiliki, pengelolaan diserahkan sepenuhnya
ke Komando Daerah Militer. Dana perawatan dan perbaikan tak dikucurkan, sedang
kodam tak ada anggaran. Swadana menjadi pilihan. Uang dari pengunjung juga tak
dapat diandalkan, karena harga tiket masuk museum bersifat sukarela.
Sehari-harinya tak banyak pengunjung yang hadir. Paling
banyak satu atau dua orang. Kecuali bila ada kunjungan dari rombongan tertentu,
biasanya pelajar yang sedang study tour.
Diluar itu, Mandala Bhakti biasanya hanya didatangi mahasiswa atau pelajar yang
ada perlu untuk penelitian atau tugas.
Kusam dan berdebu. Kesan tak terawat amat kuat. Apakah ini
disengaja, untuk menguatkan suasana historis pada gedung bekas pengadilan
negeri Belanda itu? Tentu tidak. Sukirman prihatin.
“Bagaimana kita mau profesional mengelola museum, kalau dana
tak ada? Pemerintah tak kasih. Kodam mau minta terlalu gengsi. Mau ajukan
proposal pasti ditolak, terbentur birokrasi,” tuturnya.
Prajurit mana yang tak sedih melihat sisa-sisa perjuangan Tentara
Negara Indonesia di Mandala Bhakti teronggok kurang terawat. Masa-masa kejayaan
TNI mengamankan republik tergambar lewat foto-foto usang dan beberapa benda
replika. Jas merah, jangan sekali-sekali melupakan sejarah – jargon terkenal
dari Soekarno – hanya menggaung.
Diluar gedung, tampak dua anak laki-laki berseragam Sekolah
Menengah Pertama duduk di sudut kawasan museum yang diresmikan pada 1 Maret
1985 itu. Mereka lebih suka merokok dan bercakap-cakap diluar, alih-alih masuk
kedalam.
Diluar gerbang museum, dua orang turis lokal berfoto-foto di
area Monumen Tugu Muda yang berada tepat di seberang Mandala Bhakti. Museum
masih saja sepi, tanpa pengunjung.
0 comments:
Posting Komentar