Kamis, 14 Maret 2013. Demam datang lagi.
Ini demam hebat kedua yang kualami sejak berada disini, Jepara. Sama-sama terjadi menjelang Kamis. Setiap menjelang kamis, bila tak demam tinggi, badanku menderita demam biasa, sakit kepala, atau penyakit lainnya. Bahkan selama
berkuliah di Semarang aku tak ingat pernah mengalami demam tinggi seperti ini.
Sepanjang hari aku hanya bisa berbaring.
Makan pun enggan, lidah terasa sangat pahit, tak enak. Induk semangku, atau ibu
kos, selalu mencurahkan perhatiannya saat aku atau kawanku sakit. Sering ia
mendatangi kamarku untuk memaksaku menelan makanan, menelan obat, atau sekadar
memijat kakiku. Sembari memijat biasanya ia akan menceritakan segala sesuatu,
terutama yang berkaitan dengan penyakit.
Bulan lalu saat aku demam tinggi, disusul
kawan sekamarku yang juga sakit, ia memanggil seorang nenek yang aku lupa
namanya. Kami hendak “disawan”. Saat itu aku tak tahu apa itu disawan. Mungkin diobati
dengan cara tradisional. Ibu ribut sekali menyuruh anak-anaknya menyiapkan
sawanan.
Ternyata tidak. Ternyata ibu takut
kalau-kalau kami ini sakit karena ulah makhluk halus. Diceritakannya berapa
banyak pekerja PLTU yang meninggal, dan meninggalnya kebanyakan secara tak
wajar. Misalnya saja, meninggal dalam posisi masih memegang rokok. Atau tidur
siang dan ketika dibangunkan ternyata sudah tak bernyawa. Ibu menyuruh kami semua
berhati-hati.
Sehabis isya rumah menjadi penuh, ramai. Seorang
nenek terlihat mengaduk-aduk cairan kental cokelat kental dalam cawan dengan
jarinya. Lalu kami diminta menyodorkan tangan kanan kami. Satu persatu, tangan
kami diolesi dengan sedikit cairan cokelat tadi.
“Ditunggu dulu, semoga saja jadinya kuning.
Kalau berubah jadi hitam berarti kena,” kata orang-orang.
Beberapa saat kemudian tangan kami
menguning. Orang-orang dalam rumah lega. Kami murni sakit, bukan terkena “apa-apa”.
Keesokannya aku tertawa mengenang kejadian
itu. Ternyata kepercayaan akan hal mistis masih kental disini.
Sore ini ia datang lagi dan membawa cerita
baru. Masih berkaitan dengan penyakit dan “mistis”.
“Yah
emang lagi musime podo gene-gene. Emang biasane nek ono perawan meteng iku
tanggane pada akeh sing lara. Pada panas, pada watuk ngono iku. Wingi kae
ketauan ana perawan meteng, jare wis ketauan sing metengi, cah Bangsri,”
tuturnya dengan suara lantang dan keras yang menjadi ciri khasnya.
“Ya memang sedang musimnya sakit. Biasanya
kalau disini ada perawan yang hamil lalu tetangga-tetangganya banyak yang
sakit. Sakit panas, batuk, ya seperti itu. Kemarin baru saja ketahuan ada anak
gadis hamil, katanya sudah ketahuan siapa yang menghamili, anak (kecamatan) Bangsri.”
Aku yang saat itu sedang memaksa diri untuk
meneguk teh manis yang terasa pahit tersedak. Oh, batinku. Memang secara
logika, tak ada hubungannya sama sekali antara anak gadis yang hamil dengan
tetangga yang sakit. Namun begitulah ceritanya. Aku percaya saja bahwa sakitku
ini karena musim pancaroba yang tak kenal ampun ditambah aku yang tak pandai
menjaga kondisi.
Unik memang. Inilah salah satu kebudayaan
Indonesia yang hingga kini masih dijaga turun temurun oleh segelintir
masyarakat. Kepercayaan-kepercayaan semacam itu, entah berapa tahun lagi
bertahan disini.
0 comments:
Posting Komentar