Persawahan di Oesao |
9 Januari 2014. Hujan mengantarkan kami bersembilan belas
meninggalkan Kupang, menuju ke tiga kota di bagian timur Pulau Timor: So’e,
Kefamenanu, dan Atambua. Perpaduan derasnya hujan dan senja membikin suasana
perpisahan semakin terasa menyesakkan. Tapi kami sudah akrab dengan perpisahan.
Sejak awal kami sudah tahu kalau kami ini disatukan untuk kemudian disebar ke
seluruh pelosok Indonesia. Sehingga tak satupun dari kami menangis atas
perpisahan ini. Cukup disimpan dalam hati saja.
Kami bersembilan belas menumpangi lima mobil, dengan segala
bawaan kami yang terdiri dari koper-koper besar dan tas-tas lain. Koper dan
tas-tas itu memuat barang-barang dan perlengkapan kami untuk dua bulan ke
depan. Baju, buku, perlengkapan pribadi, amanah, dan restu orangtua.
Dua bulan
kedepan kami akan melaksanakan program OJT, on the job training, semacam
magang, di unit-unit pembangkit listrik di NTT.
Awalnya jumlah kami 206. Dua bulan lalu dipecah menjadi
tiga: kelompok pembangkitan terdiri dari 61 anak di Suralaya Banten, kelompok
transmisi terdiri dari 51 anak di Semarang, dan kelompok distribusi terdiri
dari 94 anak di Pandaan, Jawa Timur. Aku sendiri berada di kelompok pertama, masuk
dalam 61 anak yang terkenal paling gila.
Kembali ke cerita perjalanan kali ini. Hujan deras perlahan
berhenti. Ketika melintasi Oesao, sekitar seperempat jam dari Kupang, salah
satu mobil bocor bannya. Hujan sudah berhenti. Jam tangan menunjukkan pukul
enam lebih namun langit masih begitu terang. Hanya mendung yang membuatnya
makin temaram.
Sambil menunggu penggantian ban, kami sempat membeli jagung
rebus. Aku baru tahu, NTT adalah penghasil jagung yang cukup besar. Ada dua
jenis jagung yang terkenal, jagung manis dan jagung puluk. Yang kedua ini
sering menjadi pesanan para pejabat katanya, karena rendah kolestrol. Kami juga
sempat membeli roti di pinggir jalanan Oesao. Namanya roti “tali isi perut
ayam”.
“Ha? Apa? Tali isi perut ayam?” tanyaku kaget ketika pertama
kali ditawari.
“Haha iya namanya gitu. Tapi nama aja kok, rotinya biasa,” jawab
temanku.
Setelah kumakan sebagai makanan buka puasa, rasanya enak juga. Manis,
semacam kue bolang-baling di Jawa, hanya saja bentuknya kecil memanjang, mirip
usus ayam.
Sambil menikmati kudapan itu kami masih saling bercanda,
mengambil foto, menikmati suasana senja di Jalan Raya Timor itu. Jalan ini
merupakan jalan negara, membentang di sepanjang Pulau Timor, dari ujung barat
hingga ujung Timur. Meski jalan antar negara, lebarnya tak lebih dari jalan
provinsi di Jawa. Lampu jalan juga tak selamanya ada.
Naas bagi kami, tiba-tiba hujan turun tanpa tedeng
aling-aling, deras. Kami langsung masuk kembali ke mobil masing-masing.
Beberapa dari kawan yang turut membantu mengganti ban kebasahan. Untung
penggantian dapat dilakukan dengan cukup cepat, sehingga mereka tak perlu
lama-lama kebasahan.
Sekitar pukul tujuh kami melanjutkan perjalanan. Langit
telah menggelap. Sopir yang membawa kami bertanya, “disini ada yang suka
mabuk?” Maksudnya adalah mabuk perjalanan.
Spontan aku menjawab, “ada, pak!”
Adalah aku sendiri yang kumaksud. “Habis ini jalannya kelok-kelok tajam sekali.
Kan mau masuk daerah pegunungan setelah ini.” Aku hanya nyengir sambil
membatin, setajam apa sih?
Tak lama setelah itu, benar saja. Jalanan mulai menikung,
menikung, dan menikung terus. Awalnya aku masih baik-baik saja. Perlahan mulai
merasa tak nyaman. Teman-temanku di jok tengah dan jok belakang sudah tak
bersuara, tertidur semua.
Aku coba memejamkan mata. Tapi tajamnya tikungan
membuat kepalaku terasa kencang sekali. Gagal terpejam. Begitu membuka mata
kurogoh tasku mencari-cari kantong plastik. Begitu dapat, keluar sudah makanan yang tadi sore kulahap.
Biasanya, setelah berhasil mengeluarkan isi perut ketika
mual kita akan merasa lebih baik, lega. Aku masih berpikir demikian sampai rasa
tak nyaman itu muncul lagi. Kuputuskan menenggak obat anti mabuk yang sudah
kusiapkan. Satu butir. Masih belum hilang. Kutelan satu butir lagi.
Beberapa saat kemudian kukeluarkan lagi. Seolah seluruh isi
perutku telah keluar. Obat yang baru saja kutelan juga keluar. Setelah itu
kucoba untuk memejam lagi, berharap bisa tertidur, kan sudah keluar semua isi
perutku.
Beberapa saat kemudian aku muntah lagi. Lagi, dan lagi.
Totalnya hingga enam kali, sampai akhirnya kami berhenti di sebuah rumah makan Padang di So’e. Bahkan air yang baru saja kuminum, langsung keluar lagi. Sampai
aku hanya bisa memuntahkan air. Lemas sekali dan merasa konyol. Sebelum
perjalanan ini, aku juga mabuk di pesawat Semarang-Surabaya sebelum menuju Kupang.
Itu adalah pesawat pertama yang kunaiki.
Makan malamku jadi tak nikmat. Aku memandangi kawan-kawanku
yang makan dengan lahapnya. Aku hanya makan sedikit. Aku bertekad setelah ini
tak boleh kecolongan lagi. Kupaksakan untuk tetap makan meski enggan untuk
meminum obat anti mabuk.
Sekitar pukul Sembilan kami melanjutkan perjalanan. Tak jauh
dari tempat kami makan, kami telah tiba di PLTD So’e. Lima dari kami akan turun
disini. Salah satunya Ima, sahabat perempuanku sejak tiga tahun lalu. Ia
termasuk sahabat yang bisa mengerti jalan pikiranku yang kebanyakan orang
bilang susah dimengerti. Ia juga yang cukup cerewet ketika aku sakit atau
enggan makan. Ia jauh lebih dewasa dariku. Sedih memang. Baru kali ini kami
benar-benar terpisah. Tapi cukup kusimpan saja. Toh aku percaya tak lama lagi
kami akan bertemu kembali.
Kami tak berlama-lama di So’e. Mobil kembali melaju, diantar
lambaian tangan mereka berlima yang kulihat dari kaca spion. Mendadak aku
merasa aneh. Pernahkah kamu merasa aneh secara tiba-tiba ketika kamu berada di
mobil yang akan melaju dan kamu melihat orang-orang melambaikan tangannya di
kaca spion? Perpisahan memang unik.
Mobil kami kembali berada di Jalan Timor Raya. Aku berdoa
setengah mati agar obat kali ini bekerja. Katanya, jalanan dari Kupang ke So’e
itu belum ada apa-apanya dibanding dengan jalanan dari So’e ke Kefamenanu. Yang
benar saja! “Belum apa-apa” saja aku sudah muntah hingga enam kali. Enggan
membayangkannya. Beruntung obatku manjur. Tak lama kemudian mataku terasa berat
dan aku tertidur.
Sekitar pukul sebelas kami tiba di Kefamenanu. Lagi-lagi
lima orang dari kami akan turun disini. Tinggal kami bersembilan ditambah sopir
serta mentor kami yang melanjutkan perjalanan. Kami bersembilan adalah
rombongan terakhir, ditempatkan di Atambua, sekitar tiga jam perjalanan lagi
dari Kefa – begitu orang-orang memendekkan nama kota ini.
Sepanjang perjalanan dari Kefa menuju Atambua aku tertidur. Tiba
di Atambua sekitar pukul dua, kami langsung diantar ke bakal tempat kos kami.
Tanpa sempat menata barang, langsung saja kami tertidur pulas begitu menemui
tempat tidur.
hmm, sayang roti 'tali isi perut ayam' gak difoto...
BalasHapuspdhl itu yg paling membuat penasaran bentuknya :D
mabok 6 kali (O_o), itu siiih kebangeten (~__~")
Langit timor emang paling istiewa. Aku ga pernah liat langit sebiu itu, awan seputih itu. We Miss Kefamenanu :)
BalasHapus