Aku dan Dina

Dina adalah salah satu sosok yang melekat dalam memoriku. Kami mulai saling mengenal sekitar tiga tahun yang lalu. Dipertemukan oleh minat kami terhadap jurnalistik dan disatukan oleh organisasi yang juga bergerak di bidang jurnalistik.
Kuakui, ia banyak menginspirasiku dan ia adalah salah satu orang yang mampu membuatku tergerak untuk bekerja tiap rasa malas menghampiriku sedang deadline tengah memburu. Ia adalah pekerja keras, selalu mau belajar dan bisa bertindak tegas. Tipikal perempuan yang mampu memimpin.
Sebaliknya, aku adalah tipikal mahasiswa santai yang sering didera kemalasan tanpa sebab. Aku tak bisa mengerjakan tulisan bisa deadline masih jauh. Lebih suka jalan-jalan dan keluyuran kesana kemari ketimbang berada di kantor. Aku juga jarang bisa fokus pada apa yang kuhadapi. Seolah otakku ini tak mau hanya memikirkan satu topik setiap waktu. Tak masalah bila aku bisa membagi pikiran dan menyelesaikan semuanya dalam waktu yang bersamaan. Masalahnya, aku bukan seseorang yang bisa disebut multitasking. Jadilah aku sering keteteran terhadap tugas-tugasku dan tak jarang aku mengecewakan Dina sebagai redakturku saat itu.
Ketika itu kami masih sama-sama berada di tingkat satu, semester dua. Kami sebaya. Sama-sama kelahiran 92. Hanya ia lebih tua beberapa bulan dariku. Ia suka menulis, sama sepertiku. Ia pernah bilang ia tak terlalu suka membaca. Tulisannya bagus, teratur. Ia sangat pandai menyusun berita. Banyak yang bilang, kalau kami bersatu maka majulah pers kampus ini. 
Saat regenerasi kepengurusan lembaga pers kampus, ia dipercaya untuk menduduki posisi redaktur buletin. Pada garis organisasi, aku berada dibawahnya, sebagai reporter. Ia bertugas mengoordinir kami, para reporter, fotografer, dan layouter, untuk bekerja sama menerbitkan buletin kampus setiap minggunya.
Aku senang-senang saja. Menjadi reporter berarti tak harus selalu berada di kantor, banyak jalan-jalan dan menemui orang-orang untuk wawancara, mengulik berita dari mana-mana, dan tentu saja menulis.
Aku bertanggung jawab kepada Dina tiap minggunya atas tugas liputanku. Semua berjalan baik dan kami berkomitmen untuk saling bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas kami.
Aku sendiri selalu berusaha menyelesaikan tanggung jawabku, menyetor usulan konten dan menyetor berita atau tulisan. Aku tahu aku sering mengecewakannya karena tak jarang aku melampaui deadline. Lama-kelamaan, ada sesuatu pada dirinya yang mulai berubah. Aku paham betul, ia lelah. Ia lelah dengan semua tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya, dan ia merasa ia sendirian.
Padahal tak demikian kenyataannya. Bahwa kami, aku dan teman-teman lain, kurang peka, mungkin iya. Mungkin karena itu pula ia merasa kalau ia sendirian. Padahal, kami berusaha untuk selalu ada. Hanya saja ia tak meminta, atau berkata. Dan kami juga tak mampu membaca hatinya.
Semakin hari ia semakin tak menentu. Aku merasai perubahan itu. Meski sejak awal kami memang tak terlalu dekat (entah kenapa, seperti ada semacam pagar yang ia pasang untukku sejak dulu, sehingga kami tak bisa benar-benar intim), tapi aku sangat merasakannya.
Akhirnya ia memilih pergi meninggalkan kami. Orang-orang bilang ia tak mau kalah olehku. Apa? Bahkan aku sama sekali tak berpikir untuk bersaing dengannya. Ia hebat dan ia memiliki banyak kelebihan yang tak kumiliki. Baiklah kami sama-sama bisa menulis. Tapi bisa menulis saja tak cukup untuk menjadi pemimpin dalam pilar redaksi.
Namun kami juga tak bisa menahannya. Kami menghargai keputusannya untuk pergi, memilih jalan lain. Berat juga ketika itu, karena kami merasa sangat kehilangan sosok yang cukup mumpuni.

Dan malam ini aku hanya bisa mengenangnya sebagai seorang rekan kerja yang profesional, bukan sebagai sahabat atau teman dekat. Aku selalu ingin bisa dekat dengannya. Tapi, seperti yang telah kubilang tadi, ada semacam pagar yang ia pasang untukku. Aku juga tak tahu kenapa, tak tahu aku salah apa. Mungkin, ia memang tak ingin. Dan aku menghormati itu. []

0 comments:

Posting Komentar

 

My Tweeeeet