Dulu, aku pernah menangis ketika harus meninggalkan Semarang meski hanya sementara. Saat itu adalah bulan pertama di tahun 2013 dan liburan antara semester lima dan semester enam baru kami kecap kurang dari seminggu.
Aku dan sepuluh orang temanku berbondong-bondong menuju ke
Jepara, sebuah kota di pesisir utara Jawa, sekitar dua jam perjalanan dari
Semarang. Aku tak begitu tertarik. Tumpukan pekerjaan yang belum selesai di
Semarang harus kutinggalkan dengan perasaan tak enak hati yang meluap-luap.
Membayangkan setiap harinya aku harus masuk magang di sebuah
pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) membuatku malas. Kukira aku tak pernah
menyukai Semarang. Namun kali ini aku enggan meninggalkannya.
Keadaan disana tak terlalu buruk. Banyak sekali pemandangan
bagus-bagus yang membuatku tenteram. Seperti hutan kecil di tengah persawahan,
atau pantai yang berwarna oranye di kala senja.
Aku suka ketika berkendara melintasi persawahan, kemudian
masuk melintasi hutan. Sepertinya pohon-pohon tinggi itu menyambutku dan
mengucapkan “selamat datang”. Aku suka memandang birunya langit yang begitu
jernih, semacam kejujuran yang menyejukkan. Aku suka berlama-lama duduk di
dermaga kayu hingga malam tiba, mengikuti gradasi langit dari biru muda menjadi
kuning, kuning menjadi oranye, oranye menjadi merah, merah menjadi ungu, ungu menjadi
biru tua hingga akhirnya menjadi hitam. Lalu ketika kita mendongak keatas, kita
akan melihat ribuan bintang cantik.
Namun ada yang lebih tak terlupakan.
Kebersamaan yang kulewati bersama teman-teman senasib
sepenanggunganlah yang paling kami rindukan. Aku dan sepuluh temanku sama sama
fasih mengingat setiap kejadian lucu yang ajaibnya menimpa kami setiap hari.
Entah itu memang lucu, atau kami yang terlalu pandai membuat semuanya menjadi
lucu.
Kenyataannya memang tak seindah itu. Selain magang, kami
juga diharuskan menggarap Tugas Akhir sebagai syarat kelulusan. Kami pusing,
iya. Kami lelah, iya. Kami bingung, iya. Namun ajaibnya, tiada hari yang kami
lalui tanpa tertawa.
Setahun kemudian, aku berada di pantai lain di sebelah timur
negeri ini, ribuan kilometer dari pantai favoritku di jepara.
“Aku to kangen Jepara ik,” kata salah seorang teman yang lelah
bermain kemudian duduk disampingku, tiba-tiba.
“aku juga, kak! Aku kangen Bandengan,” balasku. Spontan pikiranku
melayang pada dermaga kayu yang hangat nun jauh disana. Kenyataannya, aku
sedang duduk diatas bebatuan pantai yang asing, memandang kawan-kawanku yang
bermain di air dengan cerianya. Sesekali aku tertawa melihat kekonyolan mereka.
Aku bahkan merindukan saat-saat hujan turun dengan derasnya
di malam hari, menjadikan malamku basah oleh percikan air hujan yang menembus
atap rumah tanpa eternit itu.
Aku harap saat itu juga aku menangis agar suasananya menjadi
nampak melankolis. Disini tak buruk, tapi kenangan-kenangan lucu di masa lampau
membuat hati serasa remuk.
0 comments:
Posting Komentar