Hidup di Luar Jawa?


Tanpa permisi dan basa-basi, Erika, salah satu kawan yang baru saja mentas dari perguruan tinggi, menanyaiku bagaimana rasanya hidup di luar Jawa melalui pesan pendek pada Hari Minggu yang sangat cocok untuk bermalas-malasan. Membuka pesan itu, aku terdiam beberapa saat, kuketik jawaban singkat, padat, dan tak jelas, “Enak”. Kemudian kututup pesan itu.
Kupikirkan kembali pertanyaan itu sembari menikmati perjalanan melewati kawasan industri yang berdebu di Gresik. Hidup di luar Jawa ya? Bagaimana rasanya?
Aku pernah benar-benar tinggal di luar Jawa dua kali saja. Yang pertama di Atambua, kecamatan di Kabupaten Belu, NTT, yang berbatasan langsung dengan Timor Leste. Yang kedua di Pontianak, kota khatulistiwa di Kalimantan Barat.
Ketika ditanya enak atau tidak, tentu kujawab enak, karena apapun kondisinya aku menikmatinya meski sering mengeluhkan hal-hal remeh temeh. Secara garis besar, aku bersyukur sempat merasakan kedua kota tersebut. Bahkan sekarang merindukannya. Karena soal rasa itu relatif, maka aku tak bisa menjamin setiap orang merasakan apa yang kurasakan.
Ketika kita menapak di tanah selain tanah Jawa di Indonesia ini, kita akan melihat banyak hal yang sebelumnya tak pernah kita lihat, merasakan yang sebelumnya tak pernah kita rasakan.  Bertemu dengan wajah asing yang berbicara dengan bahasa yang kita tak mengerti, mendapati kelakukan-kelakuan penduduk lokal yang kadang di luar nalar kita, merasakan secara langsung dampak kenaikan harga tiket pesawat, dan sebagainya, dan sebagainya.
Ketika hidup di Atambua, aku merasakan kekeluargaan yang sangat hangat dan akrab. Sebelum berangkat kesana aku telah mendengar berbagai rumor tak sedap tentang tempat itu. Atambua dulu merupakan saksi bisu perpecahan dan pertumpahan darah antar rakyat Indonesia yang mengatasnamakan kedaulatan. Terkenal sebagai wilayah panas, baik panas temperaturnya maupun suasananya, Atambua memiliki sejarah kelam. Namun selama aku tinggal disana, tak pernah sekalipun aku menerima perlakuan tak mengenakkan dari warga asli. Mereka yang mayoritas beragama Kristen begitu menjunjung tinggi toleransi dan senantiasa menghormati aku dan kawan-kawanku yang berbeda kepercayaan dengan mereka.
Begitu sepinya kota kecil itu kadang membuatku bosan, jenuh, merasa kekurangan hiburan, dan merindukan Jawa yang penuh dengan hingar bingar. Ketika aku termenung, aku pun teringat kalau hidup di Jawa pun juga tak akan terbebas dari kejenuhan. Yang satu kejenuhan karena kesepian, yang satu kejenuhan karena keramaian. Tapi selalu ada obat untuk kejenuhan-kejenuhan itu. Meski disana tak ada bioskop atau perpustakaan dengan buku-buku melimpah, namun masih tersedia pantai-pantai cantik yang masih bebas dari sampah. Biru laut dan biru langit yang bertemu di cakrawala selalu bisa menenteramkanku. Tanpa sinyal telepon, tanpa internet, tanpa ping-ping tak jelas, hanya pasir putih dan angin lembut yang menerpa wajah. Maka nikmat Tuhan manakah yang engkau dustakan?
Sebaliknya, ketika aku tinggal di Pontianak, yang kudapati adalah hingar bingar kota dan air kotor. Sebagai ibukota provinsi, Pontianak tak jauh beda dengan kota-kota di Jawa. Pembangunan berkembang pesat, hotel-hotel mewah bertebaran, pusat perbelanjaan tersedia, kekumuhan permukiman dan gejala-gejala urbanisasi lainnya terlihat jelas. Untuk orang yang lebih menyukai ketenangan, tentu saja Pontianak membuat stress. Permasalahan utama yang mendera Kota Khatulistiwa ini adalah sanitasi. Hampir tak ada air yang benar-benar jernih di kota ini, kecuali air galon. Air utama yang dikonsumsi warga sehari-hari mayoritas berasal dari Sungai Kapuas. Ketika musim kemarau, air menjadi payau atau asin. Dengan air itulah aku mandi, mencuci, bahkan memasak. Tapi aku masih beruntung dibanding dengan warga yang tak memiliki kamar mandi. Meski tergolong kota maju, kenyataannya masih banyak penduduk Pontianak dan sekitarnya yang tak memiliki kamar mandi di rumahnya. Untuk mandi atau keperluan lain, mereka berbondong menuju sungai terdekat. Ya, kau akan melihat ketimpangan seperti itu disana, hotel-hotel mewah dan penduduk yang mandi di sungai.
Melihat berbagai hal di luar Jawa membuatku mengerti mengapa banyak terjadi konflik di luar Jawa. Kalau aku jadi rakyat Papua, aku pasti akan iri pada mereka yang lahir dan tinggal di Jawa, bisa mendapatkan segalanya dengan mudah; pendidikan, fasilitas kesehatan, akses informasi, dan lain-lain. Bahkan sekelas Ibukota provinsi disana pun tak terlepas dari yang namanya byar pet alias mati listrik.
Itu hanya dua kota. Masih banyak kota-kota lain di luar Pulau Jawa yang memiliki ceritanya masing-masing. Enak atau tidak enak, itu tergantung pada bagaimana kita memandangnya. Bagaimanapun, tinggal jauh dari kampung halaman menimbulkan sensasi berbeda. Tapi itulah yang akan menempa kita dan menjadikan kita dewasa serta lebih mencintai Indonesia. []

1 comments:

  1. Mbak Bela, permisi.
    Aku boleh minta CP Pak Anton Yg di pulau Kabung/pontianak. Ad rencana mau k sana. Trus mau cari penginapan jga.

    BalasHapus

 

My Tweeeeet