Mbah Kung

Tubuh rentanya masih menyisakan kekuatan dan semangat untuk bertahan hidup. Di usianya yang sudah tiga perempat abad, kini ia sedang berjuang melawan penyakit yang tak datang sendirian, namun keroyokan. Aku tak yakin, bila aku menjadi dia, berada di posisinya sekarang, apakah aku masih sebegitu ngototnya ingin hidup. Bukan, bukan aku mendoakan agar ia cepat mati. Malah aku mengharapkan ia bisa hidup lebih lama lagi karena aku menyayanginya, Maksudku adalah, bila aku tua nanti, menjadi setua dia kini, saat pasangan hidupku sudah pergi duluan, anak-anakku sudah bisa merajut hidup masing-masing, cucu-cucuku bahkan sudah mulai berpacaran, dan udara bumi makin kotor sementara presidenku sibuk menghadiri upacara-upacara tanpa mengindahkan anak buahnya yang hendak meremisi hukuman bagi koruptor, masihkah aku ingin hidup? Aku sendiri merasa bersemangat sekali menunggu waktu kematianku yang tak kunjung datang. Sesekali kuisi dengan kegiatan yang (menurutku) berguna untuk mengusir kebosanan. Tapi kadang aku merasa tak tahan sampai ingin meminum satu pak diazepam sekaligus.
Ah, aku malah membicarakan yang bukan-bukan. Yang ingin kuceritakan padamu kini adalah tentang Mbah Kungku, yang setengah mati membuat Bapak gelisah. Sebenarnya, dalam hati aku pun juga gelisah. Karena penyakitnyakah? Bukan. Kalau karena penyakitnya, semua orang pun gelisah, belum siap kehilangan. Tapi kegelisahanku dan bapak, mungkin hanya kami berdua yang paham. Dan juga Tuhan. 
Jadi ceritanya, Bapak gelisah bukan main karena Mbah Kung sampai sekarang tak beragama. Iya, bahasa kerennya, a-the-is, atheis. Di KTPnya tentu saja tercantum salah satu agama, namun itu cuma tulisan. Kita tak akan dimintai KTP saat akan masuk surga seperti ketika kita akan masuk peron stasiun, aku yakin itu. Hati kitalah yang akan diperiksa, adakah iman didalamnya. Mengenai amal perbuatan kita, lebih baik jangan kau tanyakan padaku. Itu adalah hak prerogatif Tuhan. 
Mbah Kung bukan orang jahat. Itu yang lebih menggelisahkan kami. Bahkan bisa dibilang ia adalah orang yang sangat baik. Aku bisa melihat hatinya polos, bersih, tak ada secuilpun keinginan untuk menguasai. Itu juga yang membuat pernikahan Mbah Kung bisa awet meski Mbah Putriku adalah orang yang bukan main keras dan ingin menang sendiri (sialnya, itu menurun padaku). Pendek kata, Mbah Kung adalah tipe manusia yang mudah mencintai dan dicintai. 
Puluhan tahun yang lalu, setelah pensiun dari Dinas Pekerjaan Umum, Mbah Kung dan Mbah Putri pergi berlayar ke pulau seberang. Memulai kehidupan dari nol bersama-sama, mereka berhasil membuktikan pada anak-anaknya kalau mereka masih bisa hidup berdikari. Sejak lima tahunan yang lalu, Mbah Kung hidup sendiri disana, menolak tinggal di Jawa bersama anak-anaknya, dan melanjutkan hidup yang telah mereka bangun. Bertahun-tahun yang lalu pula aku berjanji akan mengunjunginya kesana, namun baru tahun ini aku bisa. Setelah kujenguk disana, Mbah Kung bersedia dibawa pulang karena penyakitnya semakin parah, kondisinya semakin lemah. 
Kini ia terbaring di ranjang rumah sakit, dengan selang-selang infus menghidupinya. Tapi ia tak nampak sedih sedikitpun. Kami yang sedih. Terutama aku dan Bapak. Kadang kami melihatnya kesusahan bernafas, atau menahan sakit.
"Mbah Kung itu orang baik, lihat batu di jalan aja mau nyingkirin, tapi sampai sekarang belum ngucap syahadat," kata Bapak kepadaku dengan mimik yang terlihat pasrah. Bapak merasa tak sanggup meminta langsung pada Mbah Kung, ia meminta Ibu yang anak kandungnya untuk menyampaikan pada Mbah Kung. Sering Bapak dan Ibu berselisih juga karena hal itu. Aku tak menyalahkan Ibu, aku paham bagaimana perasaannya. Mengulik iman seseorang bagiku merupakan sesuatu yang sangat sensitif, lebih sensitif ketimbang perempuan yang sedang akan datang bulan. Tapi aku juga memahami keresahan Bapak, karena aku pun merasakannya.
Bila kamu ada di posisiku sekarang, kamu akan melakukan apa? []

0 comments:

Posting Komentar

 

My Tweeeeet