REVOLUSI ENERGI

Nuklir Bukanlah Solusi

25 tahun peristiwa Chernobyl (26 April 1986)

Kita tahu bahwa akhir-akhir ini pihak pemerintah sering mengumumkan betapa kita sedang mengalami krisis energi. Bagaimana tidak, Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dari Sabang hingga Merauke, sebagian besar diantaranya belum menikmati listrik. Sangat ironis bila mengingat bahwa kota-kota besar di Indonesia tiap harinya menghabiskan berjuta watt. Lebih ironis lagi bila kita mengetahui bahwa sebagian besar daerah penghasil bahan bakar untuk pembangkit listrik yang digunakan di Jawa, malah tidak mendapatkan pelayanan listrik yang layak, seperti di Kalimantan — ladang batubara yang selama ini paling banyak digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik.

Dari masalah itu saja kita sudah dapat menyimpulkan bahwa penyebab kurangnya pasokan energi listrik di Indonesia tidak terletak pada ketiadaan sumber energi, melainkan pada sistem pengelolaan dan pendistribusian. Bila kita telisik, sebenarnya Indonesia amat kaya akan sumber-sumber energi yang potensial, murah, bersih, dan aman, seperti surya, air, angin, mikrohidro, ombak, dan lain-lain. Namun selama ini sumber-sumber energi tersebut kurang dilirik karena dianggap terlalu kecil hasilnya. Padahal, Para ahli hidraulika memperkirakan potensi dan kinetika air sungai serta danau di nusantara ini, jika dikonversi menjadi energi listrik, setara dengan 70 gigawatt. Sedangkan saat ini hanya 4,4 gigawatt atau sekitar 6% yang dimanfaatkan menjadi sumber energi listrik. Lebih dari 65 gigawatt menanti intervensi sumber daya insani untuk dikonversi menjadi energi listrik. Itu hanya dari potensi air, belum surya serta angin dan lain-lain. Cukup menjanjikan, bukan?

Sedangkan apabila kita melirik nuklir sebagai sumber energi baru, kita perlu mempertimbangkan banyak hal. Salah satu alasan yang paling utama adalah mengenai keselamatan dan keamanan umat manusia. Pada awalnya nuklir dimaksudkan sebagai senjata penghancur. Motif dalam mengembangkan teknologi nuklir adalah untuk mengoptimalkan kegunaan bom karena kemampuannya untuk menghancurkan sebelum manfaat lain yang berguna diketahui. Sejarah mencatat berbagai peristiwa yang diakibatkan oleh penggunaan nuklir yang tak dapat dikontrol. Puluhan kecelakaan telah terjadi sehingga memberi bukti bahwa nuklir bersifat merusak. Setiap percikan dari tiap kabel, setiap pipa yang meledak, dalam hitungan menit dapat mengubah pembangkit listrik tenaga nuklir menjadi mimpi buruk. Efek radioaktif yang dihasilkan nuklir amat berbahaya bagi tubuh manusia serta lingkungan. Mengingat kejadian beberapa waktu lalu saat dua reaktor nuklir di Jepang meledak, hingga saat ini ratusan bayi disana kesulitan mendapatkan susu formula karena tercemarnya sumber-sumber air, ikan-ikan dan hasil bumi lainnya tak dapat dikonsumsi. Lebih jauh lagi, mari kita buka kembali catatan peristiwa kecelakaan nuklir paling parah dalam sejarah industri, yakni bencana Chernobyl. Meledaknya pembangkit nuklir di sebuah desa kecil di utara Ukraina pada tahun 1986 tersebut hingga saat ini masih menyisakan kontaminasi radioaktif di Belarus, Ukraina dan Rusia. Pada tahun 2002, berdasarkan data resmi pemerintah Ukraina, 15 ribu pemuda yang dipaksa membersihkan areal yang terkena radiasi telah meninggal. Sampai saat ini, ribuan anak-anak yang masih bertahan hidup disana menderita berbagai penyakit parah seperti kanker dan cacat mental. Mereka yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa tak bisa lagi ikut andil dalam pembangunan negaranya.

Hal itu cukup membuktikan bahwa nuklir bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasi krisis energi. Masih maukah kita mengorbankan keselamatan saudara-saudara kita untuk mendapatkan energi dalam jumlah besar? Sangat tidak manusiawi tentunya. Karena masih amat banyak sumber-sumber energi lain yang jauh lebih aman daripada nuklir. Hanya membutuhkan kemauan dan kemampuan kita saja untuk mengeksplorasinya. Jangan sampai SDA yang sudah tersedia menjadi sia-sia karena ketiadaan SDM. [bell]


0 comments:

Posting Komentar

 

My Tweeeeet