Minggu dan Sekelumit Cerita tentang Bali

KAMI bersembilan sama-sama jauh dari rumah, jauh dari keluarga. Dengan masing-masing tujuan yang kami bawa kesini, kami sebisa-bisanya menahan rindu. Tak begitu berat karena dijalani bersama. Kami jadi merasa bahwa kami tidak berjuang sendirian.
Ditambah lagi keakraban yang kami dapat disini. Serasa mendapat keluarga baru.
Sudah dua kali ini kami menghabiskan akhir pekan bersama keluarga asli Bali yang sangat ramah dan menyenangkan.
Minggu lalu, kami menghabiskan seharian penuh bersama keluarga Pak Komang. Kami membeli ikan cakalang dan membuat sate lilit khas Bali darinya. Mulai dari merajang bumbu, menumbuknya, hingga membakar satenya kami lakukan bersama-sama. Dari situ kami banyak belajar tentang cara memasak orang Bali.
Setelah seluruh masakan matang, kami santap siang bersama, diiringi musik gamelan Bali yang diputar dari laptop.
“Pak, ini lagu pengiring tari ya?” Tanya salah satu diantara kami bersembilan kepada Pak Komang.
“Oh, bukan. Ini, kalau disana itu musik pengiring kematian. Kalau ada prosesi orang meninggal dimainkannya musik ini,” jawab Pak Komang. “Nah, ini, pas ini, saat-saat waktu mau dikremasi,” lanjutnya ketika musik memainkan bagian selanjutnya.
Sungguh suatu Minggu yang menyenangkan.
Sate lilit dari ikan cakalang dengan bumbu Bali


Sedangkan minggu ini, kami berkesempatan untuk lebih mengenal keluarga Bali yang lain. Hari ini adalah kelanjutan perayaan turunnya Dewi Saraswati dalam agama Hindu. Hari rayanya adalah Sabtu kemarin. Dan hari ini adalah saat untuk pemeluk Hindu bersembahyang di laut atau di pantai. Dalam kepercayaan mereka, Saraswati adalah Dewi ilmu pengetahuan. Jadi bisa dikatakan bahwa hari raya itu adalah hari raya peringatan turunnya ilmu pengetahuan di muka bumi.
Kami diajak oleh Pak Ketut Pandu, bukan untuk ikut bersembahyang tentu saja, melainkan hanya ikut bermain-main di pantai sembari piknik. Ajakan itu menyelamatkan kami dari kejenuhan akibat seminggu penuh bekerja dan dibayang-bayangi tugas serta laporan.
Jadilah kami berangkat ke Atapupu, sebuah daerah pesisir di arah barat Atambua. Sekitar 45 menit harus kami tempuh dari Atambua untuk menuju kesana, melalui jalan yang berkelok-kelok namun sangat menyegarkan mata.
Persembahyangan harus dilaksanakan sebelum matahari tepat berada diatas kepala alias sebelum jam 12 siang. Seharusnya, sembahyang dilakukan sebelum matahari terbit. Namun Pak Pandu bilang bahwa hal itu bisa ditolerir, disesuaikan dengan kehidupan masyarakat di daerah itu.
Tiba disana pukul 10, pantai sudah ramai namun tak padat. Kombinasi yang sempurna: langit cerah, air tak pasang, pepohonan rindang yang pas untuk menggelar tikar, dan makanan yang telah disiapkan sebagai bekal piknik.
Setelah menyaksikan para keluarga Bali melaksanakan sembahyang mereka, kami bermain-main seolah hari Minggu tak akan berakhir. Berenang kesana kemari dan menikmati pantai yang masih bersih itu. Airnya dangkal meski kami berjalan hingga puluhan meter dari bibir pantai. Agak ketengah, kami bisa menginjak rumput laut yang lembut dan menggelikan di kaki.
Satu insiden menghentikan kami. Salah seorang dari kami tanpa sengaja menginjak bulu babi dan menyebabkan seluruh badannya terasa ngilu dalam sesaat. Begitulah cara kerja bulu babi, mampu menyebar racun ke seluruh tubuh.
Pak Komang lekas menyuruh kami memetik buah asam muda yang ada di sekitar pantai. Setelah dikunyah, asam itu dioleskan ke bagian yang terkena bulu babi. Katanya, dengan sendirinya duri-duri itu akan hancur. Selain dengan asam, pertolongan pertama yang katanya juga ampuh adalah dengan air kencing.
Terlepas dari insiden tersebut, kami sungguh-sungguh senang dapat menikmati hari Minggu itu. Kami tak hanya merasakan kehangatan matahari, namun juga kehangatan keluarga-keluarga Bali menyambut kami yang jauh dari orangtua ini.
Dalam dua Minggu itu kami telah sedikit mengenal budaya Bali. Bertemu dengan orang-orang Bali yang ramah, mengenal siapa itu Putu, Kadek, Komang, atau Ketut, dan turut menyaksikan bagaimana orang-orang itu dengan teguh memegang kepercayaan mereka dan menghormati leluhur mereka. Ternyata tak harus pergi ke Bali untuk bisa mengenal Bali.
Bali hanya sepotong kecil bagian dari Indonesia. Masih ada potongan-potongan Indonesia lainnya yang harus kami cari untuk bisa membentuk suatu kolase cerita yang apik. []


Minggu, 9 Maret 2014, sehari setelah Hari Raya Saraswati.

0 comments:

Posting Komentar

 

My Tweeeeet