Bagaimana mungkin aku melupakan pendakian terakhir yang kulakukan sebelum berangkat ke Kalimantan Barat – sebuah provinsi yang tak memiliki puncak gunung? Pendakian itu menjadi sebuah awal mula dari perjalanan panjang yang akan kami tempuh setelahnya. Tak terlupakan dan selalu membuat rindu.
Berbulan-bulan berlalu sejak pendakian itu. Namun rasanya
baru kemarin kami bertengkar soal siapa yang mau bawa logistik, beristirahat di
pom bensin Temanggung, menembus kabut Wonosobo dan sempat kehilangan jejak satu
sama lain.
Kami bersembilan. Enam orang termasuk aku telah lulus dari
perguruan tinggi setengah tahun yang lalu, berasal dari kampus yang sama,
jurusan yang sama, bahkan kelas yang sama. Satu orang lagi dari kampus
tetangga, juga sudah lulus. Satu orang merupakan adik angkatan dan seorang lagi
merupakan adik kandungku yang masih kelas dua SMA.
Ario Dwi, pemuda asli Pemalang yang bercita-cita
menginjakkan kaki di Massachusets Institute of Technology, menikmati pendakian
Prau sebagai pendakian keduanya setelah bertahun-tahun yang lalu menapaki
Gunung Slamet. Nantinya ia akan ke Jakarta untuk setelah itu dibuang entah
kemana. Kini, ia dan aku berada dalam satu pulau yang sama, pulau yang hampir
tak memiliki gunung namun kaya akan emas hitam.
Burhan Shofiyuddin, calon pemuda Aceh dari Semarang. Prau
adalah puncak ketiganya setelah Merbabu dan Lawu. Ia begitu ketagihan mendaki
setelah hampir 21 tahun menikmati hidupnya yang tenteram.
Darlius Wibowo, yang belum pernah mendaki sebelumnya, begitu
bersemangat dan selalu meminta, “ajak-ajak
ya nek meh munggah.” Entah apa yang membuatnya begitu ingin mendaki gunung.
Sebelumnya, dari 21 anak di kelas kami, hanya dua-tiga orang yang memiliki hobi
mendaki gunung, termasuk aku. Kini ia pun ada di Kalimantan, satu provinsi
dengan Ario.
Fariz Fakhruddin, pemuda kelahiran Demak yang kerap disapa Andeng
karena tahi lalat yang dimilikinya di dekat bibir, juga baru pertama kali
mendaki. Kampus kami tak sama namun bersebelahan, dan aku mengenalnya baru
beberapa bulan. Ia seorang kawan yang baik namun terkadang sikapnya mengundang
orang untuk membullynya. Aku
mengajaknya secara spontan dan tak menyangka ia dengan bersemangatnya
mengiyakan. Perjaka yang belum pernah pacaran itu kini menikmati hawa sejuk
Kota Bandung.
Dias Hamid, seorang kawan yang tak kenal menyerah. Cepu
mendidiknya menjadi sosok yang keras dan berkemauan tinggi. Prau adalah puncak
ketiganya setelah Mahameru dan Lawu. Kini Surabaya menjadi kota tempatnya
bergelut dengan hidup. Jujur, aku iri sekali dengannya. Ia kini ada di provinsi
yang memiliki banyak gunung indah. Tapi ia bilang ia tak begitu menyukai
Surabaya.
Kuncoro, sama dengan Darlius dan Fariz yang belum pernah
mendaki sebelumnya. Pemuda asli Sukoharjo ini kukenal sebagai kawan penyayang
binatang, loyal dan peduli pada sesama. Kami kerap menertawakan berbagai hal ketika
di kampus. Kini ia ada di negeri Laskar Pelangi, Bangka Belitung.
Bima Cahya, sering dianggap selengekan dan terlalu santai. Tapi dengan kesantaiannya itu ia
mampu menghadapi segala masalah dengan lebih jernih dan ringan. Pemuda
kelahiran Demak ini mendaki Prau untuk sejenak meninggalkan tugas akhir yang
sedang digarapnya. Ia bahkan membolos magang yang juga sedang dilakoninya. Tapi
bukan Bima namanya bila tak nekat. Mungkin ia hendak mengobati kekecewaannya
yang ditolak naik ke Mahameru beberapa waktu lalu.
Pendaki paling muda dalam rombongan ini adalah adik
kandungku, Fachry Nadib, yang kupaksa untuk membolos sekolah demi mendaki Prau.
“Ayo, kapan lagi mau naik gunung. Kan jarang-jarang aku dirumah. Sekolah itu
besok-besok masih bisa, masih sama juga,” begitu rayuku.
Aku tahu ia sebetulnya tertarik, sangat tertarik malah. Ia
belum pernah mendaki gunung. Bujukanku yang dibantu Ayah membuatnya menyerah
dan meninggalkan ulangan matematikanya. Sebelum mulai Puasa Ramadhan kemarin,
ia mengirimiku pesan singkat untuk meminta izin meminjam kamera dan headlamp. “Mau naik Ungaran,” begitu
katanya. Ah, sudah mulai ketagihan dia.
Pendakian kami waktu itu terhitung lancar meski angin sempat
membuat kami kewalahan dan kabut turun terlalu dini di Bukit Teletubbies. Tak
ada halangan berarti. Kami mendaki dengan suka ria, dengan guyonan yang tak
putus sepanjang jalan. Bully-membully tak terhindarkan.
“Break, break!
Alon-alon sek, nafas Marlboro iki,” Dias berseloroh. Sambil istirahat Dias
dan Bima menyalakan rokoknya, sementara yang lain minum sekedarnya dan
memandang ke bawah. Lampu-lampu berpendar dibawah sana. Ternyata, mereka saling
adu cahaya, lampu-lampu dibawah dan bintang-bintang diatas. Inilah salah satu
yang kusukai dari mendaki. Ketika beristirahat di lereng, memandang ke bawah,
ke lautan lampu di ujung sana, lalu mendongak ke atas untuk melihat gugusan
bintang. Hal itu selalu membuatku rindu ketinggian.
Di sepanjang perjalanan juga kami sering melontarkan
pertanyaan, “besok puncak mana lagi ya?” dan masing-masing dari kami
menyebutkan puncak impiannya.
“Rinjani kapan ya?” tanyaku.
“Lebaran besok bisa nggak ya, pulang, terus naik?” Burhan
berkata penuh harap.
“Sing cedak-cedak yo
ra popo sih, sing penting munggah,” kataku, diiyakan oleh yang lain. Siapa
yang mengira kami akan begitu ketagihan untuk mendaki sehingga selalu
bertanya-tanya puncak mana lagi nantinya.
Tapi kami masih belum tahu, kapan lagi kami akan berpelukan
dengan angin gunung, mendaki puncak, menikmati sisa-sisa sunrise karena bangun
kesiangan, saling mengejek dan menertawakan satu sama lain. Atau saling
berebut, siapa duluan yang mendapat cangkir pertama.
Perjalanan kami setelah ini akan lebih panjang dan entah
menuju kemana. Jalan kami masih berkabut, seperti Bukit Teletubbies di Prau
ketika itu, begitu misterius dan menggairahkan. []
mantap :D
BalasHapus