Terkenang Kupang


Tak banyak yang istimewa dari Kupang kecuali kenangan disana. Kupang bukan kota wisata melainkan hanya tempat transit menuju pulau-pulau lain di sekeliling Pulau Timor. Pulau Timor sendiri merupakan pulau utama dan pulau terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Kupang Kota Karang, begitu masyarakat sana menyerukan slogannya. Topografi Kupang memang didominasi oleh karang, menjadikan daerah ini tak begitu subur. Panas sudah pasti. Ketika pertama kali tiba disana aku berpikir ternyata ada daerah di Indonesia yang lebih panas dari Jakarta. Mandi pun tak mempan buat mengusir kegerahan. Jadilah kami selalu berlumur keringat hampir setiap waktu. Tapi ketika itu tak pernah kukira kalau aku akan sedemikian merindukan Kupang.
Kupang hanyalah kota transit bagi kami. Transit yang pertama adalah dari rumah kami, menuju Kupang untuk kemudian disebar di seluruh kota di NTT, mulai dari Labuan Bajo yang dekat dengan Komodo, hingga ke garis perbatasan Indonesia-Timor Leste, Atambua.
Transit yang kedua, adalah dari kota-kota tersebut menuju ke rumah, untuk selanjutnya disebar lagi ke seluruh Indonesia, dari Aceh sampai Papua.
Di Kupang, kami memuaskan hasrat kekanak-kanakan kami yang selalu ingin urakan dan bikin rusuh, sekaligus menjadi dewasa untuk menghadapi hidup yang masih serba tak jelas. Kami bertemu, bermain-main, saling mengejek, saling membantu, dan masing-masing berlomba untuk membuat kenangan yang tak akan terlupakan sebelum berpisah.
Bermain-main di pantai kala mendung, mengunjungi toko-toko cinderamata, pergi ke tempat makan dan berfoto-foto, menjadi momen-momen yang masih kuingat hingga kini.
Pada suatu sore yang tak cerah, ketika kami pergi ke pantai dan didera hujan, sungguh syahdu. Pantai tak begitu indah, malah suram karena mendung. Kami berusaha mewarnainya dengan jagung bakar dan ejekan-ejekan yang tak ada habisnya, selalu mengalir dan spontan.

Pesta jagung bakar dilanjutkan dengan mengunjungi toko cinderamata di dekat situ. Aku sendiri memasuki salah satu toko bukan dengan niat untuk membeli, namun berteduh saja. Tak disangka aku malah mengobrol banyak dengan bapak-bapak penjaga toko.
Usianya sekitar lima puluh tahun keatas dan aku lupa menanyakan namanya. Tak penting juga menurutku karena ini bukanlah laporan jurnalistik. Salah satu bola mata bapak itu tak berwarna, mungkin pernah kena katarak atau bisa jadi karena diabetes, aku tak berani menanyakannya. Namun ia begitu ramah meski tahu aku tak hendak membeli.
Aku melihat-lihat cinderamata berbagai bentuk, mulai dari liontin berbentuk salib hingga miniatur patung gajah yang besarnya tak lebih dari jempolku. Semuanya berwarna putih dan yang paling mengagetkanku adalah harganya. Mahal sekali. Hingga ratusan ribu.
Ternyata cinderamata itu terbuat dari gading gajah. Aku menanyakan kepada bapak itu kenapa harganya sedemikian mahalnya. “Iya memang mahal, soalnya, disini kan tidak ada gajah,” kata Bapak penjaga toko.
Ia melanjutkan, “ceritanya, dulu, para pendatang dari Belanda, dari Portugis, dari mana-mana, datang kesini dengan bawa itu gading gajah dari India untuk ditukar rempah.”
“Wah, dari India, pak?”
“Iya, dari India. Disini mana ada gajah.”
“Wah, gajah India. Pandai joget pasti ya Pak,” kataku berkelakar. Bapak itu tertawa.
Pembicaraan mengalir dan aku menanyakan tentang banyak hal. Salah satunya adalah mengenai film “Atambua 39 ⁰C” yang mengambil setting di Kupang, tepatnya di area pertokoan situ.
Mira Lesmana memang pernah membuat satu karya tentang Timor. Mengambil setting di Kupang dan Atambua, ia menggunakan artis-artis asli Timor dan mencoba menggali sejarah tentang konflik Indonesia dan Timor Leste.
Pulau Timor memang memiliki sejarah yang panjang, yang sayangnya lebih banyak kelam. Mulai dari pendudukan oleh Portugis hingga perang antar sesama pribumi yang berujung pada pelepasan diri dari NKRI.
Namun terlepas dari sejarah kelamnya, Nusa Tenggara Timur mampu mengundang minat para wisatawan yang memimpikan pantai-pantai dengan pasir putih dan laut biru. Penduduk lokal sana juga ramah dan terbuka kepada pendatang. Berbeda dengan banyak pendapat yang bilang kalau orang Timor itu kebanyakan keras dan kejam. Buktinya, sering terlihat kontrasnya gigi putih mereka berpadu dengan kulit hitam khas Timor. Mereka suka sekali tertawa, bermusik, dan berpesta.
Aku juga teringat akan angkutan-angkutan umum disana yang tak pernah sepi. Bukan sepi penumpang, tapi sepi dari musik. Setiap angkutan umum disana menyalakan musik house keras-keras yang dentumannya menggetarkan jantung. Katanya, itu adalah cara mereka untuk menarik penumpang. Kami yang pendatang berusaha menikmatinya meski awal-awal kuping kami sakit.

Banyak yang kuingat dari Kupang. Bukan tentang pantai yang indah-indah atau laut yang biru menggoda. Melainkan tentang momen-momen kebersamaan yang urakan namun intim. Salah satunya adalah tentang suatu pagi menjelang kepergian kami dari Kupang, dimana aku bangun lebih awal dari biasanya. Kemudian aku pergi ke lantai paling atas dari penginapan. Mendapati dua bangku kosong yang diterpa cahaya matahari terbit dari timur Pulau Timor. Seolah memang tersedia untuk berbincang tentang hari-hari indah yang kami rancang sendiri. []




0 comments:

Posting Komentar

 

My Tweeeeet