Pendakian Ringan ke Puncak Bukan Sikunir


“Pak, kalau mau ke Pakuwaja lewat mana ya?” tanyaku kepada petugas karcis yang sudah sejak semalam berjaga di pos dekat gapura masuk Desa Sikunir.
“Pakuwaja?” Terlihat ia keheranan. “Sikunir, kali, mbak.”
“Bukan, pak, Pakuwaja,” ulangku.
“Oh. Mau ke Pakuwaja. Ya nanti lurus aja, sampai ujung sana ada pohon cemara, ada orang disana, tanya aja.”
Begitulah, hampir setiap warga Dieng atau Wonosobo yang kutanya mengenai jalan menuju Pakuwaja, akan keheranan dan mengira aku salah sebut.
Semua orang – ya, hampir semua orang – bertanya mengenai Puncak Sikunir. Puncak Sikunir terkenal akan Golden Sunrisenya. Selain itu, Desa Sikunir diakui sebagai desa tertinggi di Pulau Jawa. Soal dingin jangan lagi ditanya. Suhu disana bisa mencapai dibawah nol derajat, terutama di musim kemarau.
Sekitar tiga tahun yang lalu, aku pernah hampir mencapai Puncak Sikunir. Tiba di Dieng pada sore hari, aku langsung menuju Desa Sikunir untuk melihat keadaan dan bertanya-tanya tentang kondisi trek. Ketika itu Sikunir belum begitu ramai akan pengunjung. Hanya ada dua rumah yang menawarkan penginapan dan belum ada toko-toko. Hanya beberapa warung kecil menjadi penyedia kebutuhan sehari-hari.
Kami memutuskan untuk turun ke kota dahulu dan naik pada dinihari, sekitar pukul tiga. Namun apa daya, hujan membuat kami memutuskan untuk membatalkan pendakian.
Beberapa hari lalu, tepatnya H+4 Idul Fitri 2014, aku kembali ke Dieng tapi bukan untuk mengejar golden sunrise di Puncak Sikunir yang terkenal. Kali ini aku memilih Puncak Pakuwaja. Tujuankupun bukan untuk mengejar sunrise, melainkan mencari spot foto untuk mendukung proyek kecilku dalam kampanye energi terbarukan. Maka dengan enaknya aku merasa tak perlu pagi-pagi benar untuk tiba disana.
kembali aku menyambangi Desa Sikunir.
Aku baru tiba di Desa Sikunir sekitar pukul enam. Keadaan disana sudah banyak berubah. Persis seperti apa yang diceritakan seorang kawan tentang Sikunir yang kini mirip pasar. Di sepanjang jalan desa, di kanan dan kiri terpampang papan penginapan atau homestay. Toko-toko yang menjajakan carica dan oleh-oleh khas Dieng sudah membuka pintu kacanya. Mobil-mobil pengunjung terparkir rapi, hampir tak menyisakan lahan untuk mobil-mobil yang baru saja datang.
Begitulah pagi itu adalah pagi yang penuh hiruk pikuk di Desa Sikunir yang dulu sepi. Orang-orang berduyun menuju ke arah Bukit Sikunir, mengejar sunrise. Sebagian berjalan kaki dari desa, tak jarang pula yang memanfaatkan jasa ojek yang disediakan oleh penduduk asli Sikunir.
Sementara itu, aku memilih memasuki salah satu gang, Gang Adam Sari, yang sempit dan sepi. Gang itu adalah salah satu jalan menuju Bukit Pakuwaja. Selain itu, kita bisa memilih jalan setapak di dekat basecamp pendakian Puncak Sikunir.

Bukit Pakuwaja didominasi oleh ladang-ladang penduduk. Ladang terbentang hingga hampir puncak. Dibutuhkan sekitar 1,5 jam berjalan santai untuk mencapai puncak. Pakuwaja lebih tinggi beberapa meter dari Sikunir. Menurut cerita seorang teman, Puncak Pakuwaja lebih indah dibanding Sikunir.
Karena aku belum pernah mendaki Bukit Sikunir, aku tak bisa membandingkan keduanya. Tapi menurutku Pakuwaja memang indah. Treknya mudah dan pemandangan yang kita dapat sangat menyenangkan hati. Bagaimana tak senang, ketika cuaca cerah, kita melihat Dieng terbentang disiram cahaya kuning matahari yang bergerak perlahan. Apalagi suasana bukit yang tak ramai dan penuh sesak, membuat kita semakin leluasa untuk berjalan dan menikmati pemandangan. Hal itu tentu saja menambah nilai romantisme. []


P.S.: jangan mencoba mendaki Pakuwaja bila kamu takut anjing. Karena akan ada anjing ladang diatas. 



1 comments:

 

My Tweeeeet