Ada sesuatu yang menyentuh ketika aku membaca bagian pembuka
di buku ini. Tak lain, tak bukan, adalah karena kisahnya sama dengan kisahku.
Bayu Adi Persada mengawali buku pertamanya ini dengan kisah
bagaimana ketegangan yang tercipta antara ia dan ayahnya ketika mengetahui
bahwa Bayu akan menjadi seorang pengajar muda. Bedanya, Bayu tetap berangkat
menjadi pengajar muda meski tanpa restu ayah. Sedangkan aku, memilih mengalah
dan memilih jalan yang orangtuaku ingini.
Bayu Adi Persada lulus dari jurusan dengan passing grade tinggi di universitas
terkemuka di Indonesia. Ayahnya menganggap ia tak seharusnya pergi ke pelosok
dan mengajar anak-anak disana. Namun ternyata Bayu lolos menjadi salah satu dari
51 pengajar muda.
51 pengajar muda tersebut tergabung dalam Gerakan Indonesia
Mengajar, sebuah gerakan yang digagas oleh Anies Baswedan. Putra-putri
Indonesia - sebagian besar merupakan lulusan universitas terkemuka di Indonesia
- berbondong mengajukan proposal untuk menjadi pengajar muda. Hanya 51 orang
terpilih yang berangkat.
Lewat buku terbitan Plotpoint ini, Bayu menceritakan
pengalamannya selama setahun menjadi pengajar di Sekolah Dasar Bibinoi di Halmahera
Selatan. Segala suka duka, cerita lucu dan sedih, ia tumpahkan. Tulisannya
begitu luwes dan apa adanya, membuatku membaca sambil membayangkan bagaimana
keadaan disana.
Ini bukanlah buku pertama tentang Indonesia Mengajar yang
aku baca. Dulu aku telah membaca Indonesia Mengajar terbitan Bentang Pustaka
yang juga menceritakan pengalaman ke 51 pengajar muda dalam menjalankan
tugasnya. Tapi buku ini terasa lebih mendetail dan personal.
Kau tahu, hingga aku membuat tulisan ini, aku belum
menyelesaikan buku tersebut hingga akhir. Aku mendapat buku ini sekitar setahun
yang lalu. Selain karena buku itu sempat dipinjam oleh beberapa kawan dan aku
mengalah, ada sesuatu yang menahanku untuk mengikuti perjalanan Bayu selama
menjadi pengajar muda.
Adalah keinginanku untuk menjadi pengajar muda yang semakin
membuncah yang membuatku merasa aku harus menahan diri untuk tidak terus
membaca. Iya, sejak awal dibentuk gerakan ini, aku sangat tertarik dan
bercita-cita suatu saat aku bisa menjadi seperti mereka. Yang lebih utama, aku
ingin sekali pergi ke pelosok negeri untuk mengabdi, entah mengajar, atau
sekedar mendirikan perpustakaan.
Sayangnya, aku tidak senekat Bayu. Aku tidak berani jujur
dan memperjuangkan sesuatu yang menjadi cita-citaku. Jadilah aku kini terdampar
– tersesat lebih tepatnya – dalam dunia yang sangat membuatku pusing dan tak
habis pikir.
Membaca tulisan Bayu membuatku kembali membayangkan
negeri-negeri di ujung sana, yang sangat jauh dari rumahku, dimana anak-anak
pergi ke sekolah tanpa alas kaki dan tanpa smartphone
tentunya. Menyesakkan? Iya. Sama seperti ketika aku membaca “Sokola Rimba”
karya Butet Manurung.
Mungkin setelah ini aku akan kembali membaca buku itu.
Belajar menghadapi kenyataan sepahit apapun itu. Lebih dari itu, aku ingin
belajar dari keberanian dan kehebatan Bayu untuk membuktikan pada orangtuanya bahwa
ia bisa berguna dan berhasil lewat jalan yang ia pilih sendiri. []
ayo mbak bela lanjutkan nulisnya.....
BalasHapusnek wani balapan kang..
Hapuswani to yo, tak nyambi nyolong wedus sek
Hapusjadi terinspirasi
BalasHapusSetelah saya membaca bukunya saya ingin memiliki pengalaman yg lebih menarik seperti tulisan beliau 👍
BalasHapus