Ini entah yang keberapa kalinya. Yang kutahu, sudah
berbanyak-banyak kali aku membasahi mukena ini selepas solat. Hanya mukena itu
yang kutemukan untuk menghapus air mataku.
Entah, entah sudah berapa kali, selalu saja ada yang tak terbendung
selepas aku menolehkan kepala ke kiri dan mengucap salam. Tanpa aku mau, tanpa
aku rencanakan sebelumnya, dan tanpa aku mengerti kenapa, mataku seringkali
membanjir.
Untungnya, hal itu tak terjadi di depan orang lain. Itu
seringkali terjadi selepas aku melaksanakan solat sendiri, di salah satu sudut
ruangan bersekat yang dijadikan tempat solat. Seolah, Tuhan membantuku menahan
airmata di depan orang lain, dan mempersilakan aku untuk menangis sepuasnya
saat aku duduk bersimpuh di hadapanNya. Mungkin Tuhan ingin menjaga citraku di
hadapan manusia lain.
Tapi mukena cokelat itu menjadi korbannya. Ia selalu basah
oleh air asin dan lengket yang keluar dari mataku. Setelah kucuci pun ia akan
kembali menampung tetesan airmata.
Tapi, sesering apapun
ia basah oleh airmata, dengan lekasnya ia kering, sehingga ketika aku
menggunakannya kembali, aku tak menemukan sisa-sisa airmata. Ia juga tetap
wangi, tak berbau asin atau apak meski terlampau sering basah oleh airmata.
Sampai mataku lelah karena sering menangis, ia tak lelah
menjadi lap yang menghapus airmataku, mengusap pipiku sampai tak ada bekas
airmata ketika aku kembali berhadapan dengan orang lain. Ia seolah menggantikan
tanganmu yang dengan lembutnya menghapus airmataku dan mengusap pipiku ketika
aku menangis.
0 comments:
Posting Komentar