Sudah dua malam ini hujan mengguyur Pontianak. Hujan
disertai angin tersebut berlangsung sekitar 3-4 jam. Hujan tersebut mengakhiri –
paling tidak untuk sementara – musim kemarau di Pontianak.
Musim kemarau menurutku adalah musim yang paling menyiksa di
Kalimantan Barat. Bukan karena air jadi berkurang drastis.
Pertama, air baku yang sehari-hari digunakan penduduk untuk
berbagai kebutuhan, menjadi payau. Menurut cerita salah seorang penduduk asli
sini, memang begitu setiap musim kemarau datang. Air menjadi payau, asin,
karena Kapuas sedang surut sehingga masuklah air laut kedalam. 80% lebih
kebutuhan air penduduk disediakan oleh Sungai Kapuas.
Karena sudah dua hari ini hujan, tadi pagi air yang biasanya
kurasa asin dan agak pekat, menjadi tak begitu asin pekat. Sudah pernah
merasakan bagaimana menggosok gigi dengan air asin? Atau mandi dengan air laut
yang pekat dan terasa lengket di badan? Aku sangat berterima kasih pada hujan
karena ini.
Kedua, kemarau menyulut titik-titik api yang tersebar hampir
di seluruh penjuru Kalimantan Barat. Tanpa ada api, suhu dan tekanan yang
tinggi sudah cukup untuk menciptakan api dan kebakaran pun tak terhindarkan.
Sebagian besar lahan di Kalimantan Barat adalah lahan gambut yang mudah
terbakar.
Tak ada asap bila tak ada api. Untuk di Kalimantan Barat,
peribahasa itu menjadi ada api pasti ada asap, dan itu bukan lagi sekedar
peribahasa. Kebakaran lahan gambut otomatis menciptakan asap yang menyesakkan. Terkadang
pekat, dan sangat menyiksa bila tak ada angin yang segera mengusirnya. Bagi
pemilik penyakit paru-paru, hal ini tentu lebih berbahaya. Aku sangat berterima
kasih pada hujan karena ini.
Ketiga, kemarau memperpanas udara di Kalimantan Barat.
Pontianak merupakan kota yang tepat berada di garis khatulistiwa. Mendapat
penyinaran matahari yang intens dan hampir sepanjang tahun menjadikan kota ini
begitu panas. Bagi saya yang berasal dari daerah pegunungan, sangat tak mudah
dalam beradaptasi. Bila hujan turun, udara menjadi sejuk meski hanya sejenak.
Tapi itu sudah sangat menyenangkan. Aku sangat berterima kasih pada hujan
karena ini.
Keempat, bila hujan turun, terutama ketika siang dan sore
hari, tak ada orang yang bermain layangan. Bilapun ada, mungkin ia memakaikan
jas hujan pada layang-layangnya sehingga tak menjadi soal. Bila tak ada
layang-layang yang mengudara, setidaknya jaringan listrik akan lebih aman,
meski masih banyak risiko-risiko lainnya. Tentang hal ini sudah pernah kutulis
pada tulisanku sebelumnya, “Pontianak dan Fatwa Haram Layang-Layang.”
Terlepas dari insiden yang kualami ketika hujan dua hari yang lalu, aku sangat berterima kasih pada hujan. Pada Tuhan yang telah menurunkan hujan, sehingga orang-orang punya waktu untuk menunggu dan berbincang. []
Terlepas dari insiden yang kualami ketika hujan dua hari yang lalu, aku sangat berterima kasih pada hujan. Pada Tuhan yang telah menurunkan hujan, sehingga orang-orang punya waktu untuk menunggu dan berbincang. []
0 comments:
Posting Komentar