Surat Untuk Kawan Lama

Hai, kawan lama! Sudah berapa bulan kita tidak bersua? Ah, berapa tahun? Aku bahkan tak ingat kawan, kapan terakhir kali kita bertemu, bertukar rasa dan asa. Bagaimana kabarmu sekarang, hei? Kau masih suka duduk-duduk di warung kopi Koh Awan? Hutangmu sudah bertumpuk lagi pasti ya? Atau jangan-jangan kau sudah berhasil mengawini anak gadisnya sehingga hutang-hutangmu dibebaskan? Aku tak tahu apakah aku akan mengenalimu kalau kelak kita bertemu lagi.
Kau tak ingin menanyakan kabarku? Sebelum kau tanyakan aku akan memberitahumu: aku masih hidup dan masih bisa menulis surat untukmu. Hahahaha. Mungkin saat membaca ini kau bilang, "sialan!" Mungkin juga kau bertanya-tanya, mengapa akhirnya aku menulis untukmu setelah sekian lama aku melupakanmu. Hei, asal kau tahu, aku tak melupakanmu. Bahkan ingatan tentangmu membuatku risau dan pusing-pusing. Kau mau tahu mengapa aku baru menulis untukmu sekarang? Ah, kau tak akan mengerti. Lain waktu kalau kita bertemu saja, akan aku ceritakan. Sekarang aku ingin bercerita sedikit. Iya, sedikit saja. Karena aku akan dongkol sekali kalau ternyata surat ini tak sampai di tanganmu. Atau sampai di tanganmu, namun tak kau baca. Jadi lebih baik aku menulis sedikit, memastikan kau masih hidup dan membaca suratku. Kalaupun tidak, tak apa. Toh aku sudah kau ajari menerima penolakan. Hmm. Menerima, penolakan. Baru sadar aku. Itu frasa terdiri dari dua kata yang kontras ya? Ah sudahlah.
Kau tahu, kawan, akhir-akhir ini aku didera perasaan gelisah. Iya, iya, aku tahu kau pasti mengira kalau aku tak akan mencoba menghubungimu kecuali sedang susah. Kau memang tak pernah berpikiran baik tentangku. Jangan salah, ya. Aku ini baru bisa menulis sekarang. Kau pikir mudah, menulis pakai pecahan beton?
Kau tahu, kawan, sebenarnya perasaanku sudah tak enak sejak aku tiba disini. Kupikir itu biasa saja, karena menghadapi tempat baru yang tak kukenal sebelumnya. Bukankah kita diatur untuk takut dan tak suka pada sesuatu yang belum kita kenal, alih-alih mencoba mengenalinya? Tapi semakin aku mengenali, memang benar ternyata aku makin tak suka. Perasaan tak enak datang setiap hari. Membuatku merasa semakin jauh pada apa-apa yang sebelumnya kukenal. Bahkan aku lupa kalau di dunia ini ada pengemis! Kau tahu, menyakitkan sekali rasanya ketika aku coba mengingat bagaimana rasanya berbagi. Orang bilang itu indah. Tapi secuilpun aku tak dapat mengingatnya. Aku juga lupa caranya tertawa. Padahal dulu waktu bersamamu, hampir tiap waktu kita tertawa. Apapun kita tertawakan. Jenderal yang marah kelihatan lucu kalau di depan kita.
Kelupaan-kelupaan itu yang membuatku risau, tak enak hati. Tapi menurutku baik juga kalau aku risau. Itu berarti masih ada sedikit memori yang tertinggal. Jadi mungkin perlu digali lebih dalam lagi.
Kau tahu, aku jadi semakin pandai mengumpat sejak disini. Ternyata enak, ya, mengumpat itu. Pantas saja dulu kau suka sekali melakukannya. Apa sekarang kau masih suka?
Aku pikir akan sangat tak baik bagi perkembangan jiwaku bila aku bertahan disini. Kau juga setuju, kan? Hanya saja untuk saat ini keadaannya sedang serba genting. Mungkin baiknya aku menunggu hingga kondisi mereda, baru aku akan mencari kesempatan untuk melarikan diri. Kalau sekarang rasa-rasanya tak mungkin. Alih-alih menemuimu aku malah mati dibawah sepatu lars. Mending kalau mati. Kalau masih hidup tapi bonyok disana-sini, apa kata orang kampung kalau melihat ketampananku dihinakan begitu?
Oh iya, kudengar kabar dari sesama tahanan, sebentar lagi akan ada pesta besar-besaran di negeri kita? Pesta macam apa? Pesta kok masih banyak yang kelaparan. Kau ikut kah? Tak kaget aku, paling kau hanya mau menggoda gadis-gadis muda.
Ah, apapun itu, rasanya tak akan berpengaruh pada nasib kami disini. Kau tahu, apa yang akan terjadi kalau saja dulu golongan muda tak paksa Soekarno buat mendeklarasikan kemerdekaan? Aku juga tak tahu. Mungkin saja kita belum bebas sekarang. Memang kemerdekaan itu harus diusahakan, bukan ditunggu.
Sudah lumayan panjang ternyata suratku ini. Aku tak akan mengingkari omonganku sendiri, makanya akan segera aku sudahi. Baik juga rasanya setelah bisa menulis padamu, entah akan kau baca atau tidak. Aku merasa muda kembali. Sedikit-sedikit juga mulai kuingat cara tertawa. Kalau ketemu lagi, kau harus mengajariku cara tertawa paling mutakhir!


Salam,


Kawan lamamu



0 comments:

Posting Komentar

 

My Tweeeeet