Energi
dan modernitas. Dua kata yang tak terpisahkan. Sebenarnya sejak munculnya
kehidupan pun energi telah dibutuhkan. Tumbuhan membutuhkan energi untuk
melakukan fotosintesisnya. Hewan membutuhkan energi untuk bergerak dan berkembangbiak.
Pun manusia, membutuhkan energi untuk melakukan berbagai aktivitasnya. Semua benda
di alam semesta inipun mengalun dan bergerak karena memiliki energi. Dapat
dikatakan, energi adalah sumber kehidupan. Semua segi kehidupan membutuhkan
energi. Di zaman seperti sekarang ini, dimana digitalisasi dan modernisasi
merasuki tiap sendi kehidupan masyarakat, meningkatnya kebutuhan energi tak
terelakkan.
Ilmuwan
kenamaan dari Inggris, James Prescott Joule, pada tahun 1984 mengemukakan
teorinya tentang hukum kekekalan energi yang berbunyi “energi tidak bisa
dimusnahkan atau diciptakan”. Energi itu unik. Ia tak bisa dicipta, tak bisa
dimusnahkan, hanya bisa diubah dari satu bentuk menjadi bentuk yang lain. Namun
kita tak akan bisa mengonversi kembali energi-energi yang sudah kita gunakan,
karena tak ada proses yang reversibel di dunia ini. Seperti energi dari bahan
bakar minyak yang telah kita gunakan sebagai penggerak kendaraan bermotor, tak
akan bisa kita gunakan kembali. Yang memprihatinkan, cadangan energi primer sebagai
sumber dari energi-energi lain seperti energi listrik, makin hari makin menipis
dan cukup mengkhawatirkan keberadaannya. Sedang kebutuhan akan energi makin
hari malah semakin melonjak.
Indonesia
mengalami peningkatan yang sangat signifikan dalam konsumsi energi setelah
tahun 1998, masa dimana krisis moneter
yang mendera bangsa ini berakhir. Setelah pulih dari krisis moneter,
pembangunanpun makin digalakkan di segala lini. Tak ayal, kebutuhan akan energi
semakin meningkat. Laju peningkatan konsumsi energi yang semakin tinggi,
diiringi dengan laju penurunan jumlah cadangan sumber energi setiap harinya.
Energi
listrik yang kita ketahui sebagai energi yang setiap hari kita gunakan, selama
ini bersumber dari hasil pembakaran bahan bakar fosil yang kini jumlahnya
semakin menipis. Batubara, minyak bumi,
gas, memang tersedia melimpah di bumi Indonesia ini. Namun sumber-sumber energi
tersebut merupakan sumber energi yang tak terbarukan. Membutuhkan waktu jutaan
tahun untuk mendapatkannya kembali. Sedang sumber energi bersih seperti tenaga
air, tenaga panas bumi dan tenaga surya, kontribusinya terhadap penyediaan
energi listrik di Indonesia belum mencapai 10%.
Permasalahan
utama dalam pengembangan renewable energy di Indonesia adalah pada modal dan
investasi. Energi-energi bersih memang tak semenjanjikan energi fosil. Tenaga
angin, air, panas bumi, bahkan surya, meski tersedia gratis dan ada terus
menerus, membutuhkan teknologi yang tak murah. Dan hasilnya tak sebesar energi
fosil. Itu sebabnya investor masih berpikir dua kali untuk menanam modalnya di
proyek energi bersih.
Energi
fosil masih menjadi andalan karena cukup murah dan mampu menyediakan suplai
energi listrik yang kontinu dan andal. Namun jumlahnya yang semakin menipis
lantas membuat kita harus bertindak sesuatu untuk menghindari berkurangnya
suplai energi. Energi memang unik. Tak bisa disamakan dengan komoditas lain.
Prinsip ekonomi berkata bahwa semakin tinggi permintaan (demand), maka akan
semakin tinggi pula penawaran atau penyediaan (supply). Prinsip ini tak dapat
kita berlakukan pada energi. Komoditas lain, katakanlah sandang, diproduksi dan
selanjutnya disimpan untuk didistribusikan kepada konsumen. Waktu penyimpanan
pun bisa disesuaikan. Bahan baku juga bisa didapat dan diperbaharui. Namun
energi, terutama energi listrik, tak dapat disimpan setelah diproduksi. Proses
bisnis energi listrik terjadi dalam waktu yang aktual, real time, saat ini
juga. Proses mulai dari produksi hingga distribusi ke konsumen berlangsung
secara kontinu dan tak berhenti. Energi juga terbatas sumbernya, itulah yang
menyebabkan dalam bisnis energi tak dapat diterapkan prinsip ekonomi diatas.
Semakin tinggi permintaan, bukan keuntungan yang semakin besar yang akan
didapat, melainkan kesulitan-kesulitan seperti kelangkaan energi. Mungkin bisa
saja perusahaan penyedia energi menambah jumlah produksinya mengikuti jumlah
permintaan konsumen yang semakin meningkat. Namun bisa dipastikan, hal itu
menyebabkan semakin singkatnya keberlangsungan produksi perusahaan tersebut. Karena
semakin besar jumlah energi yang dijual, semakin menipis pula persediaan
energinya. Sekali lagi, karena energi tak dapat diperbaharui atau diciptakan.
Proses
untuk mendapatkan energi hingga bisa kita nikmati pun tak mudah. Mulai dari
eksplorasi sumber energi yang membutuhkan modal tak sedikit, proses pengolahan,
dan proses distribusi ke konsumen. Teknologinya tak murah, apalagi kita masih
banyak menggunakan jasa dari pihak asing. Itu sebabnya dalam mengonsumsi
energi, kita sebagai bangsa yang mampu berpikir jauh kedepan harus bijak.
Konservasi energi menjadi satu-satunya solusi dalam permasalahan ini.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2009 tentang
Konservasi Energi, definisi konservasi energi adalah upaya sistematis,
terencana, dan terpadu guna melestarikan sumber daya energi dalam negeri serta
meningkatkan efisiensi pemanfaatannya. Konservasi bukan dilakukan untuk
membatasi pemakaian melalui penjatahan penggunaan yang dapat mengganggu
pertumbuhan tetapi utamanya adalah untuk meningkatkan efisiensi pemakaian.
Efisiensi yang dimaksud disini adalah ketepatan penggunaan energi dan
meminimalisir terbuangnya energi secara sia-sia.
Dalam program konservasi energi ini, tentu tak hanya pemerintah
dan pengambil kebijakan yang berkewajiban berperan serta, karena program ini
merupakan suatu tindakan yang mencakup multi dimensi. Termasuk didalamnya
dituntut perubahan budaya dalam masyarakat. Konservasi energi merupakan bagian
dari usaha untuk menanamkan budaya hemat, efisien dan produktif dalam
masyarakat.
Mengubah
budaya. Itulah kuncinya. Budaya merupakan sesuatu yang telah menjadi
keseharian, kebiasaan, tentu akan sulit sekali untuk mengubahnya. Namun sulit
tidak berarti tak bisa. Yang dibutuhkan adalah usaha dan komitmen serta
kesabaran, karena proses ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Negara-negara
maju seperti Jepang dan negara-negara Eropa pun ternyata membutuhkan waktu
bertahun-tahun untuk mengubah kebiasaan lama masyarakatnya menuju kebiasaan
baru yang efisien dan hemat. Dan mereka menjalani proses tersebut dengan
komitmen tinggi. Tentu kita sebaiknya tak berharap budaya hemat dan efisien
dapat kita terapkan di Indonesia dalam satu atau dua tahun kedepan.
Membudayakan
masyarakat untuk berhemat dan efisien dalam menggunakan energi dapat dimulai
dengan sosialisasi tentang pengertian energi, sifat-sifatnya dan
pemanfaatannya. Kesadaran tak akan
terbentuk bila masyarakat tak tahu dan tak mengerti. Setelah menyosialisasikan
hal-hal tersebut, perlulah ditanam paradigma baru tentang penggunaan energi,
mendidik masyarakat tentang pengetahuan dan cara-cara konservasi energi serta
skill yang diperlukan agar penggunaan energi bisa lebih efisien. Efisien dalam
tindakan, sekecil apapun, dapat membantu menyelamatkan dan menghemat penggunaan
energi. Tindakan-tindakan kecil namun berdampak besar seperti mematikan lampu
saat tidak lagi digunakan, merupakan salah satu wujud budaya hemat yang masih
sulit dilakukan oleh kebanyakan masyarakat.
Sosialisasi
selama ini memang telah dilakukan oleh pihak kementerian energi dan sumber daya
mineral (ESDM) melalui iklan layanan masyarakatnya di media massa, baik
elektronik maupun cetak serta baliho-baliho pada lokasi strategis. Cara ini
merupakan salah satu upaya untuk menanamkan budaya baru yang perlu dibentuk,
yaitu budaya hemat dan efisien.
Upaya
lain sebagai bentuk follow up dari sosialisasi seperti diatas mungkin dapat
berupa pemberian contoh oleh public figure seperti walikota, kepala lurah, atau
bahkan artis yang dikenal oleh masyarakat luas. Dengan contoh dan tindakan
nyata, paradigma baru tentang keharusan berhemat energi akan lebih mudah
diterima oleh masyarakat. Apalagi kini msayarakat Indonesia semakin kritis dan
pintar. Mendidik masyarakat secara kredibel dan dengan tindakan nyata akan
sangat dibutuhkan. Percuma juga apabila sosialisasi yang telah dilakukan disana
sini hanya sekadar menjadi pajangan dan formalitas belaka, tanpa ada tindakan
nyata dari pelaku sosialisasi. Budaya yang kita harapkan tak akan kunjung
menyentuh masyarakat sebagai pelaku budaya.
Sudah
saatnya kita sebagai masyarakat yang beradab dan modern menggeser budaya-budaya
yang tak lagi relevan dan tidak menguntungkan untuk kemajuan bangsa. Tentu saja
budaya-budaya dari pendahulu kita yang baik dan membangun harus tetap
dipertahankan. Budaya baru demi kebaikan masa depan dan kelangsungan hidup
berbagai makhluk, budaya hemat dan efisien.
0 comments:
Posting Komentar