Jendela Dunia, Jendela Bangsa


Kita semua pasti setuju dengan anggapan bahwa pendidikan dapat memutus mata rantai kemiskinan dan meningkatkan derajat suatu bangsa. Bangsa yang bagus dan sangat maju, dapat dipastikan memiliki sistem pendidikan yang baik dan berhasil. Sebaliknya, bila suatu bangsa tak cenderung mengalami peningkatan dan kemajuan dalam segala lini, perlu ditengok kembali bagaimana sistem pendidikan di negara tersebut.
Sayangnya, Indonesia masih termasuk ke dalam golongan yang kedua dari dua pernyataan diatas. Seperti kita lihat selama ini, masih terdapat banyak sekali masalah dalam dunia pendidikan kita. Tak mengherankan apabila bumi pertiwi kita ini tak cenderung membaik, malah semakin memprihatinkan dalam beberapa hal. Pendidikan di Indonesia masih diwarnai banyak corak hitam dan kelabu.
Salah satunya yaitu budaya mencontek yang rasa-rasanya sudah mendarah daging pada pelajar-pelajar Indonesia. Akan menyalahkan siapakah kita? Sistem pendidikan disini memang mengarahkan anak-anak Indonesia untuk berorientasi pada hasil akhir. Jarang sekali sekolah yang menilai seorang pelajar dari proses bagaimana dia belajar dan mampu memahami suatu pelajaran. Sebagian besar sekolah hanya menilai kemampuan seorang anak dari hasil ujian dan kemampuan anak tersebut dalam mengerjakan tugas atau soal yang diberikan gurunya, tak peduli apakah anak itu benar-benar paham atau sekadar menghapal. Mungkin salah bila kita masih menggunakan kata “mendidik”, karena pada dasarnya sistem seperti itu tidaklah mendidik, melainkan hanya mengajar. Tak berbeda jauh dengan singa sirkus yang diajar untuk dapat duduk di kursi, singa tersebut mampu akhirnya mampu duduk di kursi karena takut oleh cambuk si pelatih. Sampai kapankah kita akan membiarkan generasi muda Indonesia menjadi singa sirkus?
Selain itu, problem lain yang kini masih membayang dengan jelas adalah masalah kemerataan pendidikan. Kesenjangan antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan masih terlihat dengan jelas. Angka buta huruf masih sangat tinggi pada dearah-daerah tertentu. Seharusnya jarak tak akan menjadi penghalang bagi saudara-saudara kita di pedesaan untuk menikmati pendidikan, apalagi pada tahun 2012 seperti sekarang ini, dimana teknologi telah sangat maju.
Dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 mengenai sistem pendidikan nasional, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan kepada pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Disitu juga dicantumkan bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin kesempatan pemerataan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan.
Namun undang-undang hanyalah undang-undang. Cita-cita kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tak semua merasa memilikinya. Langkah konkrit yang kita harapkan datang dari pemerintah untuk mengatasi masalah ini nampaknya hanya diangan. Kita tak bisa hanya menunggu. Lebih baik bergerak semampunya daripada hanya mengeluh dan tak melakukan apa-apa.
Lalu apakah yang bisa kita lakukan? Tentu bukan pendidikan formal yang harus kita selenggarakan. Menyelenggarakan pendidikan formal adalah kewajiban dan wewenang pemerintah. Selain itu, selama ini pendidikan formal yang telah terselenggara terbukti tak mampu menjawab tantangan era kini, termasuk kemerosotan moral anak bangsa.
Kita semua hampir melupakan bahwa terdapat satu kunci yang dapat membukakan pintu pendidikan dan wawasan bagi bangsa. Buku, ialah. Selama ini kita hanya terfokus pada sarana dan prasarana lain untuk menunjang pendidikan. Betapa besar peran buku, namun seringkali pembangunan dan pengembangan pendidikan mengabaikannya.
Buku sebagai jendela dunia kini bukanlah primadona bagi generasi muda Indonesia. Peran penting buku telah tergeser oleh telepon selular, televisi dan berbagai alat digital lainnya. Bisa dikatakan kondisi telah memprihatinkan bila minat pemuda terhadap buku telah luntur. Sejarah menuturkan, para tokoh penting Indonesia adalah kaum intelek yang tak bisa lepas dari buku. Membaca telah menjadi keseharian mereka. Sebut saja Ir. Soekarno, Mohamad Hatta, Gus Dur, dan masih banyak lagi. Mereka pasti setuju dengan pernyataan bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang melek akan sejarah dan aksara. Seiring dengan lunturnya budaya membaca, semakin berkurang pula tingkat intelektualitas dan moral suatu bangsa.
Bila didaerahmu banyak terdapat anak-anak seusia SMP dan SD, coba tanyakan berapa dari mereka yang senang membaca buku. Bila sebagian besar senang membaca bolehlah kita berlega hati. Namun bila kebanyakan anak menjawab ia lebih senang menonton film atau menonton televisi, bermain telepon genggam, playstation, atau sebagainya, maka kita patut prihatin dan melakukan sesuatu. Menggandeng para pemuda karang taruna dan berkonsultasi dengan pimpinan daerah setempat untuk mendirikan perpustakaan atau taman baca nampaknya bisa menjadi pilihan. Selanjutnya melakukan penggalangan buku bersama para pemuda karang taruna sepertinya akan menjadi kegiatan yang seru dan mengasyikkan. Penggalangan buku dapat dimulai dari warga sekitar atau mencari donatur.
Dengan langkah sederhana dan semangat bersama untuk memajukan bangsa, pendidikan alternatif melalui penggalakan budaya membaca pun bisa kita selenggarakan. Karena bacaan dapat mempengaruhi pemikiran dan tingkah laku seseorang. Sangat penting bagi anak-anak untuk diasupi bacaan yang bermutu dan mendidik, karena itulah yang akan mempengaruhi tingkah laku dan pola pikirnya nanti. Bacaan yang baik dapat menjadi guru alternatif selain guru di sekolah formal. Membaca pun tak menuntut seorang anak untuk lulus ujian dengan nilai sempurna. Membaca juga tak menuntut seorang anak untuk menghapal. Dan seorang anak bebas memilih bacaan apapun yang ingin ia baca.
Bila telah berhasil dengan daerah sekitar kita, kita bisa bertindak untuk daerah lain juga. Kita semua tentu ingin saudara-saudara kita di daerah pelosok turut menikmati manisnya pendidikan. Kita pun bisa mendidik mereka, baik secara langsung maupun tak langsung. Secara langsung, kita bisa berinteraksi dengan mereka, sekadar menyalami pun tak apa. Bermula dari salam, ilmu pun bisa tersampaikan. Bermula dari salam, berlanjut pada perkenalan, interaksi selanjutnya pun akan semakin mudah. Indonesia terkenal dengan penduduk aslinya yang ramah dan terbuka. Itu sebabnya desa selalu memiliki daya tarik tersendiri yang tak dimiliki kota.
Namun tak ada perjuangan yang tak mengenal rintangan. Kesulitan yang mungkin akan dihadapi adalah mayoritas penduduk desa kurang tertarik untuk masalah pendidikan, terutama daerah-daerah dengan angka kemiskinan yang relatif tinggi. Bagi penduduk miskin, pendidikan adalah nomor sekian. Yang pertama dan utama bagi mereka adalah bagaimana secepat mungkin menghasilkan uang, yang penting hari ini bisa makan. Kebanyakan orang tua tak mengharapkan anaknya berlama-lama di sekolah, tak mengharapkan pula anaknya dapat menempuh pendidikan setinggi mungkin, karena mahalnya biaya sekolah dan karena sekolah merenggut waktu anak-anak untuk membantu para orang tua bekerja. Tak bisa disalahkan juga, karena mungkin secara turun temurun mereka tak mengenal pendidikan. Mereka belum tahu bahwa pendidikan dapat memutus rantai kemiskinan dan atau mengangkat derajat mereka. Maka tugas kita sebagai kaum terdidiklah untuk membantu menyalurkan pendidikan kepada mereka.
Bila memulai dengan orang tua agak sulit, maka mulailah dengan anak-anak. Sebagai bibit-bibit penerus bangsa, penting sekali untuk menanamkan pada mereka akan nilai-nilai kebaikan melalui pendidikan, tak peduli apakah ia anak kota, anak desa, anak menteri, maupun anak petani. Setiap anak di Indonesia berhak mendapat pendidikan. Dan itu adalah kemutlakan yang tak bisa diganggu gugat. Anak-anak pedesaan pun berhak mencicipi buku-buku dan bacaan yang berkualitas dan sesuai dengan minat mereka. Lewat buku-buku yang kita berikan kepada mereka kita titipkan harapan baik untuk pendidikan mereka, pendidikan Indonesia. Lewat buku-buku itu pula mereka mengisi lembar asa mereka tentang masa depan yang cerah.
Pendidikan tak harus menggunakan papan tulis atau bangku dan meja kayu. Pendidikan juga tak harus menggunakan perangkat canggih dan modern. Pendidikan pun tak mesti diampu oleh profesor atau guru-guru profesional. Dengan membangun perpustakaan pun kita bisa membukakan jendela dunia bagi masyarakat Indonesia, membangun sebuah bangsa yang maju dan beradab.

0 comments:

Posting Komentar

 

My Tweeeeet