“Hidjo, cobalah kemari!” kata Raden Nganten Potronojo waktu
anaknya baru pulang dari melancong. “Kamu hendak disuruh sekolah ingenieur di Negeri Belanda oleh ayahmu,
apakah kamu mau? Tapi saya sangat susah..,” Raden Nganten tak bisa meneruskan
kata-katanya, ia tak bisa menahan air matanya yang mengalir dan membikin gelap
pikirannya.
Hidjo tak kuasa menolak keinginan sang ayah, meski ibunya bersikeras
tak ingin Hidjo pergi. Hidjo dengan berat hati pun meninggalkan Hindia Belanda,
berpisah dengan keluarga dan kekasihnya, Raden Ajeng Biroe.
Meski hidup tanpa kekurangan karena segala kebutuhannya
tercukupi, bukan berarti Hidjo tak kesulitan disana. Tantangan terbesar justru
datang dari dirinya sendiri.
Hidjo selama hidup di Hindia Belanda tak pernah berbuat
macam-macam. Ia hanya belajar, membaca buku, dan sesekali berplesiran dengan
Biroe. Namun di Belanda, dimana ia diperlakukan dengan sangat ramah oleh orang
Belanda, Hidjo hampir tak bisa mengendalikan diri untuk tak mencoba hal-hal baru
yang sebelumnya dianggapnya tak pantas. Bahkan ia juga juga berpacaran dengan
Betje, gadis Belanda yang merupakan anak dari induk semangnya.
Pada akhirnya, Hidjo memutuskan untuk pulang ke Jawa sebelum
studinya selesai. Namun alih-alih
menikah dengan Biroe, Hidjo dinikahkan dengan perempuan lain yang merupakan
sahabat karib Biroe. Perjodohan memang merupakan salah satu budaya yang masih
sangat kental dalam kalangan borjuis pribumi pada saat itu. Mas Marco
Kartodikromo menggambarkan itu dengan baik, juga tentang kebiasaan-kebiasaan
kalangan borjuis pribumi lainnya.
Mas Marco Kartodikromo pertama kali menulis kisah ini pada
tahun 1918 sebagai cerita bersambung untuk Harian Sinar Hindia. Setahun
kemudian baru diterbitkan sebagai buku. Pada tahun 2000, buku ini diterbitkan
kembali oleh Aksara Indonesia dan Bentang. Pada 2010 lalu, Penerbit NARASI dari
menerbitkannya kembali dalam bentuk buku setebal 140 halaman.
Novel yang menceritakan tentang kisah hidup Hidjo dan
keluarga besarnya, keluarga yang termasuk dalam golongan priyayi, ini sejatinya
mengisahkan tentang kontrasnya perlakuan yang diterima pribumi di Belanda dan
di Hindia Belanda. Pantas bila karya ini disebut sebagai “sastra perlawanan”,
sebuah istilah dalam kronik sastra Indonesia sebelum perang.
Penerbit buku Indonesia Boekoe (I: Boekoe) mentasbihkan
karya ini sebagai salah satu dari “Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut
Dibaca Sebelum Dikuburkan”. []
0 comments:
Posting Komentar