Catatan Perjalanan: Semeru (Part IV)

sebelumnya: Catatan Perjalanan: Semeru (Part III)

Sabtu, 25 Agustus 2012, Summit Attack


Sekitar pukul 12 malam kami berangkat. Kami berempat bergabung kembali dengan dua pendaki Surabaya yang berangkat bersama kami dari Pasar Tumpang. Dalam gelap kami mengandalkan lampu senter. Cahaya bulan saat itu cukup terang, namun saat mulai memasuki hutan cahaya tersebut tak lagi nampak.

sunrise di lereng
Kalimati dan Pos Arcopodo berjarak sekitar 1,2 km dengan trek yang menanjak. Sesekali kami beristirahat, duduk di akar pepohonan, mengambil napas dan meminum air. Banyak sekali pendaki yang menuju puncak.

Akhirnya kami tiba di batas vegetasi terakhir, yaitu titik dimana terdapat tumbuhan terakhir dapat hidup. Pinus-pinus terakhir menjadi gerbang yang mengantar para pendaki dari hutan menuju trek berpasir. Perjalanan selanjutnya akan menjadi sangat berat.

Saya tak pernah menyangka bahwa mendaki gunung bisa sesulit ini. Trek menuju Mahameru adalah jalan berpasir, mirip dengan puncak Merapi namun pasir disini lebih lembut, sehingga cukup sulit untuk mendakinya. Bila tak berpijak kuat, pasir yang dipijak dengan mudah akan menurun, sehingga kaki kita pun akan ikut merosot. Selain itu pendaki harus mengenakan slayer untuk menutupi hidung agar tak menghirup udara berdebu pekat. Akan lebih mudah bila mengenakan kacamata. Sayangnya saya lupa membawa kacamata minus saya. Pendaki dimudahkan dengan adanya bebatuan yang dapat digunakan untuk berhenti sejenak. Dan lagi-lagi saya takjub saat saya beristirahat sejenak di bebatuan. Saya melihat kebawah, melihat titik-titik cahaya senter dari pendaki yang jumlahnya mungkin mencapai ratusan. Titik-titik itu berjalan perlahan menuju atas, indah sekali.

Kami tak menargetkan untuk tiba di puncak saat matahari terbit. Kabarnya para pendaki akan melihat matahari terbit saat di lereng bila berangkat pukul 12 malam. Benar saja, matahari mulai terbit saat kami masih berada di lereng. Ah, cantik sekali, memandang awan-awan putih diterpa sinar oranye. Sambil sesekali memandang awan-awan tersebut kami kembali mendaki. Perjalanan menuju puncak nampaknya masih cukup jauh. Saya kelelahan, namun tak sendirian. Bersama dengan pendaki-pendaki lain, kami bersusah payah menuju Mahameru. Sungguh tak mudah bagi saya. Sempat terpikir macam-macam, antara lain keinginan untuk berhenti sampai disini saja dan tak melanjutkan hingga puncak. Namun dengan semangat dan bantuan dari kawan-kawan, akhirnya saya tak menyerah pada pasir Mahameru. Dengan penuh perjuangan akhirnya pada Sabtu 25 Agustus kami tiba juga di Mahameru, tanah tertinggi di Pulau Jawa! Kami berada diatas awan, di ketinggian 3676 meter diatas permukaan laut. Tak menyesal atas perjalanan berat yang kami tempuh untuk menuju kesini.

Diatas sana terdapat beberapa monumen memoriam. Salah satunya adalah milik idola saya, Soe Hok Gie, yang dipersatukan memoriamnya dengan Idhan Danvantari Lubis. Gie dan Idhan meninggal pada 16 Desember 1969, satu hari sebelum ulang tahun ke 27 nya, karena menghirup gas beracun yang disemburkan oleh Kawah Jonggring Saloka. Dengan reflek saya memeluk memoriam tersebut saat menemukannya.

Setelah puas berfoto, memandang awan, memakan bekal dan minum, kami memutuskan untuk turun sekita pukul 08.30. Kami harus turun dari Mahameru sebelum pukul 10 pagi. Hal itu dikarenakan semakin siang angin akan bertiup menuju bawah melewati lereng. Angin tersebut sangat berbahaya karena turut membawa asap gas beracun yang disemburkan oleh Kawah Jonggring Saloka. Kawah tersebut menyemburkan asap setiap 10 menit sekali. Sangat berbahaya sebenarnya. Itu sebab pihak asuransi tak mau repot-repot menanggung keselamatan para pendaki yang melewati Kalimati. Namun semangat para pendaki untuk menuju puncak tertinggi di Pulau Jawa itu mampu mengalahkan segala rasa takut, hingga akhirnya kami bisa mencapai Mahameru.



Perjalanan turun juga tak mudah. Namun kami mampu melaluinya lebih cepat dibanding saat naik. Dengan bertumpu pada tungkak agar tak tergelincir, kami berjalan turun perlahan. Yang menyulitkan adalah pasir-pasir yang membuat pedih mata. Untuk itu saya memutuskan untuk menjaga jarak, menunggu agar pendaki didepan saya mendahului cukup jauh didepan, sehingga pasir yang diterbangkannya tak mengenai saya. Cukup memakan waktu memang, namun tak menjadi soal karena saya jadi bisa menikmati pemandangan di lereng berpasir tersebut.

Kembali tiba di hutan pinus, menuju Arcopodo untuk selanjutnya menuju Kalimati dimana camp kami berada. Ternyata di Pos Arcopodo terdapat beberapa pendaki yang memilih untuk mendirikan camp disana alih-alih di Kalimati. Biasanya para pendaki lebih memilih untuk mendirikan camp di Kalimati agar perjalanan ke atas tak begitu berat dengan bawaan yang banyak, karena trek dari Kalimati menuju Arcopodo cukup berat.

Tiba di Arcopodo saya mencoba menemukan prasasti berupa patung kembar yang menjadi legenda Arcopodo. Arcopodo, atau disebut juga Recopodo, berasal dari dua kata Bahasa Sansekerta. Arco atau Reco adalah patung, dan Podo adalah sama atau kembar. Hanya orang-orang yang dikehendaki saja yang mampu melihat patung tersebut. Ternyata saya tak cukup beruntung untuk menemukannya.

Saya dan seorang kawan tiba di Kalimati lewat tengah hari. Kedua kawan lain telah tiba lebih dulu. Rencana untuk langsung turun kami urungkan karena kelelahan. Kami memutuskan untuk menginap semalam lagi di Kalimati.

Kami tertidur hingga sore. Saat terbangun 3 orang kawan menuju sumber air yang berjarak sekitar 2 km dari Kalimati, sedang saya menjaga tenda. Air tersebut akan kami gunakan untuk keperluan bersih-bersih dan sebagian dimasak untuk diminum.

Sekembalinya mereka saya berjalan-jalan di sekitar Kalimati, mengamati edelweis dan berkenalan dengan pendaki lain. Ada pendaki dari Jawa Barat, ada juga dari Malang. Masing-masing dari mereka merekomendasikan gunung-gunung terbaik di daerahnya untuk didaki.

Mendekati malam, kami mulai memasak. Semua bahan makanan mentah kecuali mi kami habiskan malam itu juga, karena malam ini adalah malam terakhir kami di Semeru. Nasi, daging kornet, dan ikan sarden ditambah teh dan susu menjadi menu kami malam itu.
Paginya setelah matahari terbit, kami langsung packing. Sebagian menyiapkan sarapan berupa mi instan yang direbus, ditambah kopi. Sekitar pukul 7 kami meninggalkan Kalimati untuk pulang.

Perjalanan hari itu akan sangat panjang karena kami akan terus berjalan hingga tiba di Ranu Pane. Ketika tiba di Ranu Kumbolo pada tengah hari kami hanya mampir sebentar untuk beristirahat dan mengambil air. Setelah itu perjalanan langsung kami lanjutkan. Kurang lebih pukul empat sore kami tiba di Ranu Pane. Setelah bersih diri sekenanya kami langsung menaiki jip yang akan menuju ke Pasar Tumpang. Tarif jip saat itu dikenakan 25 ribu per orang, dengan jumlah penumpang melebihi kapasitas, yaitu sekitar 10 penumpang dalam satu jip terbuka.

Tiba di Pasar Tumpang menjelang petang, makan malam di pasar, kemudian kami langsung mencari angkutan umum yang menuju ke Terminal Arjosari. Setelah menunggu agak lama akhirnya dapat. Meski tarif menjadi 7 ribu per orang, namun tak mengapa, yang penting kami bisa tiba di Arjosari.

Sesampainya di Terminal Arjosari kami bersih-bersih diri. Dilanjutkan dengan mencari bis yang menuju Surabaya. Ternyata sangat tak mudah menemukan bis jurusan Malang Surabaya pada malam itu. Namun akhirnya ada satu bis ke Surabaya yang langsung saja diserbu oleh penumpang. Kami bernafas lega meski harus berdesak-desakan. Dengan tarif 10 ribu per orang kami tiba di Terminal Bungurasih Surabaya sekitar pukul 10 malam. Langsung saja kami mencari bis yang menuju Semarang. Dengan Sinar Mandiri yang bertarif 48 ribu, kami menuju Terboyo dengan segala kelelahan dan kegembiraan karena telah berhasil menaklukkan Semeru.

Tiba di Terboyo pada Senin 27 Agustus pukul 06.30 pagi, kami melanjutkan dengan bis jurusan Solo untuk menuju Tembalang dan Banyumanik. Sungguh perjalanan yang tak akan saya lupakan. Terima kasih untuk rekan perjalanan saya, Adi Tri Utomo, Rifwan Kukuh, dan Yoga Kanthi Mardika.



 selesai.






4 comments:

  1. wah impian saya, pergi muncak ke mahameru; negeri di atas awan.
    Catatan perjalanan yang keren, jepretannya juga bagus banget. Yeah (y) awesome.
    Dari awal sempat penasaran, ke semeru berapa orang dan siapa saja, dan ternyata terjawab sudah di part IV ini, hehe; 3 mas dan 1 mbak.
    Kalo boleh tahu, total biaya selama perjalanannya, berapa ya?

    SALAM LESTARI !!

    BalasHapus
  2. maaf baru balas..

    untuk rincian biaya nya saya lupa itu mas. kalau tidak salah sepanjang tulisan sudah ada kan, nah tinggal ditotal saja. hehe

    oiya, setahu saya, skrg kalau akan ke semeru harus booking dulu, karena kuota pendaki mulai dibatasi

    salam lestari!

    BalasHapus
  3. banyak yang nawarin pendakian massal ke sana, tapi kayaknya kurang menantang kalau kesana bareng puluhan orang..
    hehe

    BalasHapus
  4. wkt itu saya yg nggak ikut penmas aja rasanya udah kayak penmas. hehe. teman saya wkt itu ikut penmas, katanya sktr 1500 orang naik semeru dlm waktu bersamaan (ndak kebayang).

    BalasHapus

 

My Tweeeeet